Dilema Pemenuhan Hak Ekonomi dan Budaya di Indonesia. Studi Kasus : Sengketa Masyarakat Sedulur Sikep Melawan P.T. Semen Indonesia Tbk.
Dilema
Pemenuhan Hak Ekonomi dan Budaya di Indonesia.
Studi Kasus : Sengketa Masyarakat Sedulur Sikep
Melawan P.T. Semen Indonesia Tbk.
Isu HAM sebagai suatu ide pemikiran
merupakan suatu konsep yang kompleks dan kerap kali membuka ruang perdebatan
dan dilema baik di level prinsip maupun tahap implementasinya di lapangan. Salah
satu contoh perdebatan klasik seputar isu HAM adalah apakah HAM bersifat
universal atau relatif. Konsep HAM yang ada saat ini disebut sebagai perwujudan
prinsip dan nilai-nilai yang bersifat universal dan sudah sewajarnya dijunjung
tinggi oleh seluruh umat manusia tanpa memandang ras, agama, kebangsaan maupun
identitas lainnya. Namun sifat keuniversalan ini kerap kali mendapat counter arguments di level praktikal
dikarenakan adanya relativitas budaya di masing-masing negara yang kemudian
menghadirkan perspektif yang beragam. Keberagaman perspektif dan pemahaman ini kemudia
menghadirkan bentuk implementasi yang beragam menyesuaikan dengan nilai-nilai
lokal yang berlaku dan bertolak ukur pada nilai budaya setempat. Sebagai
contoh, fenomena ini mengarahkan pada kecenderungan derogasi dan hak reservasi
bagi negara-negara dalam memodifikasi tanggungjawab pemgimplementasian HAM.
Selain contoh diatas, dilemma lain
yang timbul dari pengimplementasian HAM adalah terkadang pemenuhan suatu hak
menyebabkan pelanggaran hak yang lain contohnya adalah Hak Ekonomi vs Hak
Budaya. Kasus dimana pemenuhan HAM bersifat mutually
exclusive terhadap pemenuhan hak budaya dapat dilihat mulai dari kasus female genital mutilation (pemenuhan hak
perempuan vs hak budaya beberapa negara yang menganggap praktik tersebut
sebagai suatu tradisi warisan kebudayaan) hingga upaya pembangunan yang
dilakukan pemerintah sebagai wujud pemenuhan hak ekonomi yang bertabrakan
dengan pemenuhan hak budaya oleh suatu kelompok yang merupakan focus essay saya
kali ini. Dalam essay saya kali ini saya akan mencoba menganalisa kasus
sengketa antara kelompok Sedulur Sikep melawan P.T. Semen Indonesia Tbk melalui
sudut pandang pemenuhan Hak Asasi dan Hak Budaya sebagai salah satu contoh
dilemma pemenuhan hak ekonomi dan hak budaya di Indonesia.
A.
Hak
Ekonomi dan Landasan Hukumnya
Hak ekonomi kerap kali berkaitan
erat dengan hak social manusia hingga keduanya jarang bisa dipisahkan. Sebagai
bagian dari masyarakat internasional yang menghormati dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia yang secara garis besar tertuang dalam Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia, Indonesia memutusan untuk turut meratifikasi
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) bersama
160 negara lainnya. ICESCR merupakan landasan hukum yang memuat kewajiban
negara yang meratifikasi kovenan tersebut untuk senantiasa mengupayakan
pemenuhan hak-hak rakyat yang dikandung didalamnya.
Pasal 11 dalam
ICESCR sebagai landasan pemenuhan hak ekonomi berbunyi :
“The States Parties to the present
Covenant recognize the right of everyone
to an adequate standard of living for himself and his family, including
adequate food, clothing and housing, and to the continuous improvement of living conditions. The States Parties will take appropriate
steps to ensure the realization of this right, recognizing to this effect the
essential importance of international cooperation based on free consent.”
Selain itu Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999, yang merupakan instrumen HAM nasional di Indonesia, juga memuat Hak
Ekonomi dimana hak ini mencakup hak untuk hidup, hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan, hak mengembangkan kebutuhan dasar, hak memperoleh
keadilan, hak atas kebebasan dari perbudakan, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, serta hak anak.
Dalam instrumen HAM di Indonesia sendiri, salah satunya hak atas kesejahteraan
erat kaitannya dengan hak ekonomi, yang mana hak atas kesejahteraan ini
termasuk hak milik, hak atas pekerjaan, hak untuk bertempat tinggal secara
layak, jaminan sosial, perlindungan bagi kelompok rentan. Pasal 9 UU No. 39
Tahun 1999 merupakan salah satu instrument yang memuat hak ekonomi secara luas di
Indonesia. Pasal 9 berbunyi :
(1)
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap orang berhak tenteram,
aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Landasan hukum diatas kemudian menjadi justifikasi
pemerintah dalam pemberian izin penambangan kepada PT semen Indonesia yang
lebih lanjut akan saya bahan di section C
yang mendapat perlawanan oleh kelompok Masyarakat Sedulur Sikep karena
berpotensi merusak lingkungan dan terampasnya hak mereka untuk menjaga kearifan
local dan budaya.
B.
Hak Budaya dan Landasan
Hukumnya
Hak Budaya atau Cultural Rights berfokus pada kelompok-kelompok indigeneous atau etnis minoritas yang
memiliki kebudayaan tersendiri. Hak budaya meliputi hak kelompok tertentu untuk
mempertahankan cara hidup mereka, berbicara dengan bahasa mereka, dan
perlindungan terhadap akses penghidupan atau ekonomi mereka di suatu daerah.
Gagasan terkait mengenai indigenous
Intellectual Property Rights (IPR) mulai bangkit sebagai upaya untuk
melestarikan kebudayaan masyarakat dan mencegah ethnocide atau penghilangan kebudayaan. Beberapa upaya masyarakat
Internasional untuk memberi spotlight
kepada isu Hak Budaya ini termasuk didalamnya penyusunan Agenda 21 untuk Budaya
yang mengadvokasi pembentukan groundwork
bagi pemerintah kota maupun bentuk pemerintah local lainnya untut memasukkan
hak kebudayaan sebagai prinsip pembangunan kedaerahan. Pemerintah local juga
harus mengakui hak kebudayaan sebagai bagian penting dengan mengambil referensi
dari Universal
Declaration of Human Rights.
Hak Budaya juga terkandung
dalam ICESCR Pasal 15 yang berbunyi :
(1) The States Parties
to the present Covenant recognize the right of everyone:
(a) To take part in cultural life;
(b) To enjoy the
benefits of scientific progress and its applications;
(c) To benefit from the
protection of the moral and material interests resulting from any scientific,
literary or artistic production of which he is the author.
(2) The steps to be
taken by the States Parties to the present Covenant to achieve the full
realization of this right shall include
those necessary for the conservation, the development and the diffusion of
science and culture.
Landasan hukum tersebut menekankan pada kewajiban pemerintah untuk
melindungi hak rakyatnya dalam melestarikan cara hidup mereka dimana cara hidup
ini meliputi pemenuhan hak budaya mereka dalam menjalankan nilai, norma,
kepercayaan, dan kebiasaan yang berlaku. Bagi Masyarakat Sedulur Sikep,
kebiasaan dan adat yang mereka pegang sangat khas dan terancam tidak bisa
dilestarikan akibat adanya kebijakan pemerintah yang mengizinkan aktivitas
pertambangan di wilayah pegunungan mereka. Pembahasan lebih lanjut mengenai
sengketa ini akan diulas pada bagian berikut ini.
C. Sengketa Kelompok Sedulur Sikep Melawan P.T. Semen Indonesia Tbk.
Masyarakat Sedulur Sikep atau yang biasa dikenal
sebagai Samin adalah kelompok masyarakat yang menempati utara Jawa Tengah dan
Jawa Timur atau tepatnya berada disekitar Kabupaten Blora, Ngawi dan
Bojonegoro. Masyarakat ini muncul pada awalnya di Desa Ploso Kediren, Kawedanan
Randublatung, Kabupaten Blora dengan pelopornya yang bernama Pak Samin
Surosentiko dalam beberapa tulisan disebutkan juga berawal di Desa Klopoduwur[1]. Masyarakat ini tinggal di
daerah kering sekitar pegunungan Kendeng dengan kadar air yang terbatas. Dalam
film dokumenter “Samin VS Semen” karya komunitas Ekspedisi Indonesia Biru tahun
2015 tergambarkan bagaimana kehidupan masyarakat Samin di Rembang hidup bertani
dan menanam padi setahun sekali saat musim hujan. Hubungan sosial mereka
didasarkan pada kesatuan sosial paguyuban dan merupakan suatu kolektif dan bukan
suatu golongan atau kelompok.
Di Kecamatan Sukolilo, PT Semen Gresik berencana
akan membangun pabrik semen dengan luas lahan mencapai kurang lebih 2000
hektar. Bahan baku pabrik semen adalah batu kapur yang berasal dari kawasan
pegunungan kars di sekitarnya. Kegiatan Penambangan ini tentunya akan mengeruk
pegunungan kapur dan berpotensi merusak fungsi pegunungan sebagai reservoir
dari matar air yang juga merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitar.[2] Secara umum, masyarakat
yang setuju terhadap pembangunan pabrik ini berharap akan mendapat pekerjaan
yang lebih menghasilkan ketimbang hanya sekedar menjadi petani. Masyarakat juga
merasa tidak berdaya karena menganggap rencana penambangan ini merupakan
keputusan pemerintah yang sudah tidak bisa diganggu gugat.
Sementara masyarakat Sedulur Sikep tetap menolak
rencana ini dan terus melakukan perlawanan. Penolakan warga ini dilatarbelakangi
oleh sebuah pandangan hidup yang kita kenal dengan kearifan lokal yang dimiliki
masyarakat sekitar, khususnya masyarakat Sedulur Sikep. Masyarakat ini memiliki
memiliki ikatan baik yang sifatnya transcendental, yaitu kepercayaan yang
mereka anut dan ikatan reliji yang mereka miliki dengan alam di sekitar kawasan
Pegunungan Kendeng maupun yang bersifat empiric dimana mereka yang mayoritas
berprofesi sebagai petani sangat bergantung pada sumber air dan kelestarian
alam sekitar.
Peran pegunungan
Kendeng bagi masyarakat Sedulur Sikep secara kultural sangatlah besar. Hal ini
terlihat dari adanya ikatan simbolis yang terdapat dalam situs-situs kebudayaan
yang banyak terdapat di Pegunungan Kendeng. Kesadaran masyarakat local di
wilayah Sukolilo yang mengikat dengan pegunungan Kendeng diantaranya Watu
Payung yang merupakan simbolisasi dari sejarah pewayangan Dewi Kunti dimana
beberapa situs narasi pewayangan tersebut terartikulasi dalam beberapa relief
alam yang terdapat disana.[3]
Hal ini tentu menimbulkan polemic tersendiri.
Bagi pemerintah, pemberian izin kepada perusahaan semen untuk melakukan
penambangan dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar agar
mendapat pekerjaan dengan pendapatan lebih tinggi. Mengingat pemenuhan hak
ekonomi bersifat bertahap, diberlakukannya progressive realization menuntut
komitmen Indonesia dalam terus mengupayakan pemenuhan hak asasi masyarakatnya
khususnya di bidang ekonomi dengan cara terus melakukan pembangunan dan
mengimplementasi kebijakan-kebijakan yang diharapkan dapat memakmurkan rakyatnya
khususnya didaerah pedesaan seperti Kecamatan Sukolilo yang dinilai masih
memiliki taraf hidup yang rendah.
Namun maksud baik pemerintah ini kemudian
menjadi problematis karena ternyata di lapangan, terdapat sekelompok masyarakat
seperti Kelompok Sedulur Sikep yang berpotensi terkena dampak buruk dari
kebijakan ini. Dampak buruk yang dialami Masyarakat Sedulur Sikep ini adalah
kemungkinan terjadinya kerusakan alam dan terampasnya hak mereka untuk
melanjutkan cara hidup mereka dengan memegang kearifan local mereka bertani dan
melakukan kegiatan-kegiatan lain dengan alam. Masyarakat Sedulur Sikep dikenal
sangat anti kapitalisme dimana mereka bahkan menolak menggunakan mata uang dan
lebih memilih menggunakan barter sebagai metode transaksi perdagangan. Hal ini tergambar
pada wawancara Tim Ekspedisi Indonesia Biru kepada ibu-ibu Samin yang
menjelaskan bahwa tanah dan air adalah hal yang lebih utama daripada uang,
karena tanah dan air dapat diwariskan kepada anak-cucu mereka.[4]
Status minoritas
kelompok Sedulur Sikep dalam masysarakat maupun pemerintah lokal menyebabkan
ruang aspirasi mereka menjadi kecil. Kebanyakan dari warga kelompok ini juga
tidak memiliki kartu tanda penduduk. Hal itu juga yang kemudian memungkinkan
terjadinya inkonsistensi pemerintah pada kasus pendirian pabrik semen P.T.
Semen Indonesia di Kabupaten Rembang yang kembali mengganggu lahan hidup
masyarakat Samin.[5]
Berbeda dengan nasib mujur pada keputusan sidang tahun 2009 yang dimenangkan
masyarakat Samin, pada kasus dengan P.T. Semen Indonesia gugatan masyarakat dan
WALHI tentang izin lingkungan No. 660.1/17 tahun 2012 untuk kegiatan
pertambangan PT. Semen Indonesia ditolak dengan alasan tuntutan telah melampaui
waktu yang dipersyaratkan yaitu 90 hari. Putusan yang turun pada tanggal 16
April 2015 tersebut menjadi pukulan keras bagi masyarakat Sedulur Sikep.[6]
Saya sendiri berpendapat bahwa klaim pemerintah
dalam memberi izin penambangan untuk memenuhi hak ekonomi masyarakatnya dengan
cara menyediakan lapangan kerja yang dinilai lebih layak tidak seratus persen
salah. Namun yang perlu diingat, pemerintah tidak boleh melakukan generalisasi
terhadap apa yang benar-benar menjadi kebutuhan suatu masyarakat. Konsep
‘kesejahteraan’ sendiri sejatinya bersifat sangat subjektif. Ada segelintir orang
yang hanya akan merasa sejahtera ketika mereka mendapat gaji diatas upah
minimal dan ada sekelompok orang seperti masyarakat Sedulur Sikep yang merasa hak
ekonomi dalam rangka memenuhi kesejahteraan mereka bisa terpenuhi hanya dengan
menjalani kehidupan sederhana sebagai petani sembari terus menjalankan
nilai-nilai kearifan local dalam kehidupan mereka.
Justru dengan pemaksaan yang dilakukan
pemerintah agar masyarakat Sedulur Sikep menerima kebijakan penambangan di
wilayah mereka merenggut hak mereka dalam melestarikan cara hidup, nilai
kebudayaan dan kepercayaan yang mereka anut dan berujung pada pelanggaran hak
budaya yang mereka miliki. Ketika hak mereka untuk mencapai kesejahteraan
subjektif yang mereka inginkan dirampas, upaya pemenuhan hak ekonomi oleh
pemerintah melalui kebijakan penambangan justru menjadi backlashing dan malah counterproductive dalam mencapai
tujuannya yaitu menyejahterakan rakyat. Yang justru terjadi, masyarakat tidak
mampu lagi mengakses sumber daya alam dan menjaga kearifan local. Meskipun
pada akhirnya, pemenuhan hak budaya bagi masyarakat Sedulur Sikep menyebabkan
terhalangnya kesempatan mereka untuk mencicipi keuntungan berupa penghasilan
uang yang lebih banyak, saya rasa hal ini tidak menjadi persoalan karena
masyarakat Sedulur Sikep sendiri consent terhadap
hilangnya kesempatan tersebut dan justru lebih memilih agar tetap dibiarkan
melanjutkan kehidupan sederhana mereka. Karena pandangan akan suatu kemiskinan
juga bersifat subjektif sebagaimana definisi kesejahteraan itu sendiri.
Sehingga bisa bisa disimpulkan bahwa pihak
pemerintah seharusnya menghapus hukum, kebijakan atau praktik tertentu yang
menimbulkan dampka buruk bagi pemenuhan
hak ekonomi, social dan budaya yang seimbang. Pemerintah diharapkan mampu
menjamin pemenuhan penghidupan minimum dan memastikan adanya akses penggunaan
sumber daya alam bagi rakyatnya tanpa menimbulkan efek samping yang merampas
hak kelompok manapun. Maka dari itu, keputusan yang diambil pemerintah terkait
bagaimana pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan harus selalu
mendapat public scrutiny untuk
memastikan manfaat yang akan dituai tidak menimbulkan dampak buruk yang
signifikan bagi kelompok masyarakat manapun. Kebijakan legislative (melalui
ratifikasi ICESCR) dan praktikal yang hanya memandang satu sisi (hak ekonomi)
tidak cukup untuk menjamin terpenuhinya hak-hak ekonomi, social, dan budaya
masyarakatnya. Diperlukan analisis kritikal terhadap setiap kebijakan yang
bertujuan untuk menghindari dampak buruk dalam bentuk apapun-- apalagi dampak
buruk yang berupa pelanggaran hak lain bagi masyrakat.
***
REFERENSI
Djokosoewardi,
Hary Poerwanto. 1969. Saminisme. Skripsi Dalam Memenuhi Syarat Kelulusan Ujian
Sarjana Muda dalam Ilmu Antropologi Budaya UGM:Yogyakarta (Tidak diterbitkan)
INTERNATIONA
COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL, AND CULTURAL RIGHTS (ICESCR)
Raharja,
Gonzaga Dimas Bintarta. Tanah Bisu Sedulur Sikep : Menggali Ulang Konflik
Agraria antara Masyarakat Samin di Pegunungan Karst Kendeng Rembang dalam
Kontestasi Kapitalisme Perusahaan Semen Indonesia. Diunduh di https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiw_MjvqqnNAhWBp5QKHdjBAsUQFggcMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.academia.edu%2F13161721%2FTanah_Bisu_Sedulur_Sikep_Menggali_Ulang_Konflik_Agraria_antara_Masyarakat_Samin_di_Pegunungan_Karst_Kendeng_Rembang_dalam_Kontestasi_Kapitalisme_Perusahaan_Semen_Indonesia&usg=AFQjCNFbOrRpTeWowyarKV66yn069QV4NQ&sig2=qCLEc3CjZaoWrYkO-17kvw pada 15 Juni 2016
UNDANG
UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
Wicaksono,
Anggit dan Subarkah. 2014. Perlawanan Masyarakat Samin (Sedulur Sikep) Atas
Kebijakan Pembangunan Semen Gresik Di Sukolilo Pati (Studi Kebijakan Berbasis
Lingkungan Dan Kearifan Lokal). Diunduh dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=172078 pada tanggal 15 Juni 2016, pukul 00.12 WIB
Catatan Kaki :
[1] Djokosoewardi,
Hary Poerwanto. 1969. Saminisme.
Skripsi Dalam Memenuhi Syarat Kelulusan Ujian Sarjana Muda dalam Ilmu
Antropologi Budaya UGM:Yogyakarta (Tidak diterbitkan)
[2] Wicaksono,
Anggit dan Subarkah. 2014. Perlawanan Masyarakat
Samin (Sedulur Sikep) Atas Kebijakan Pembangunan Semen Gresik Di Sukolilo Pati
(Studi Kebijakan Berbasis Lingkungan Dan Kearifan Lokal). Diunduh dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=172078
pada tanggal 15 Juni 2016
[3] Ibid.
[4] A.
Gonzaga Dimas Bintarta Raharja. Tanah
Bisu Sedulur Sikep : Menggali Ulang Konflik Agraria antara Masyarakat Samin di
Pegunungan Karst Kendeng Rembang dalam Kontestasi Kapitalisme Perusahaan Semen
Indonesia. Diunduh di https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiw_MjvqqnNAhWBp5QKHdjBAsUQFggcMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.academia.edu%2F13161721%2FTanah_Bisu_Sedulur_Sikep_Menggali_Ulang_Konflik_Agraria_antara_Masyarakat_Samin_di_Pegunungan_Karst_Kendeng_Rembang_dalam_Kontestasi_Kapitalisme_Perusahaan_Semen_Indonesia&usg=AFQjCNFbOrRpTeWowyarKV66yn069QV4NQ&sig2=qCLEc3CjZaoWrYkO-17kvw
pada 15 Juni 2016
[5] Sebelumnya
kasus sengketa lahan atas konsesi pabrik semen terjadi pada masyarakat Samin di
Sukolilo, Pati. Saat itu mereka memenangkan sidang dan memaksa P.T. Semen
Gresik yang kemudian berubah nama menjadi PT Semen Indonesia mundur dari bumi
Kendeng. Akhirnya pada tanggal 26 Juli 2009, bupati Jawa Tengah membatalkan
surat izin tambang dan pembangunan pabrik semen P.T. Semen Gresik. (Wicaksono
dan Subarkah, 2014:184)
[6] Dibahas
dalam http://www.sosbencana.com/walhi-dan-warga-ajukan-banding-atas-putusan-ptun-semarang/
(diunduh tanggal 15 Juni 2016, pukul
12.26 WIB)
Comments
Post a Comment