Perempuan dan Dialog Antar-Agama: Pengalaman Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

 Oleh: Raditya Darningtyas

Ringkasan Artikel Jurnal


Judul:           The Role of Women in Interreligious Dialogue in Indonesia: A Study on the Forum for Religious Harmony (FKUB)

Penulis:           Wiwin S. A. Rohmawati       

Jurnal:             The Muslim World, 2020 (Vol. 110 Issue 4)

Tebal:              16 halaman

 

Perempuan seringkali tidak mendapat ruang dalam dialog antar-agama. Sekalipun ada, peran perempuan kerap terbatas pada hal-hal yang kurang substantif dan kurang berpengaruh di ranah pembuatan keputusan. Hal ini menyebabkan forum dialog tidak representatif bagi aspirasi dan peran perempuan. Forum dialog maupun upaya binadamai lainnya yang tidak melibatkan  perempuan akhirnya menjadi tidak efektif dalam menciptakan kerukunan di masyarakat.

Tokoh agama, pemimpin politik, diplomat, mediator dan peran lainnya dalam upaya binadamai masih banyak didominasi peran dan perspektif laki-laki. Hal ini juga dipengaruhi oleh kedudukan dan privilese laki-laki dalam tatanan masyarakat lebih luas yang masih didominasi budaya maskulinitas. Tradisi keagamaan dan dominasi maskulinitas yang saling berkelindan berujung pada anggapan bahwa tokoh agama laki-laki memiliki legitimasi untuk mewakili suara seluruh anggota masyarakat termasuk perempuan.

Perempuan dianggap tidak memiliki cukup kapasitas untuk aktif di ruang publik termasuk dalam ruang dialog antar-agama. Anggapan ini keliru karena perempuan juga memilik peran krusial di masyarakat. Latar belakang dan pengalaman perempuan di ranah sehari-hari, serta gaya negosiasi yang cenderung lebih integratif[1] dapat menjadi faktor pendorong dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.

Dalam artikel ini, dengan menggunakan konsep hegemoni maskulinitas Raewyn Connell, Rohmawati (2020) mengulas peran perempuan dalam dialog antar-agama dengan mengambil Forum Kerukunan Antar Agama (FKUB) sebagai contoh kasus. Struktur sosial yang didominasi maskulinitas sangat terkait dengan sistem masyarakat patriarki. Hegemoni maskulinitas secara empiris dapat dianalisis di tiga level. Pertama di level lokal yang terdiri dari keluarga, organisasi dan komunitas. Kedua, di level regional yang dibangun melalui institusi budaya dan negara. Ketiga, di level global yang dibangun melalui arena transnasional. Karakteristik maskulin dan feminin yang berkembang menjadi norma gender kemudian menjadi basis interaksi di level individu dan institusi yang digunakan untuk melegitimasi beragam kebijakan.

Rohmawati (2020) juga menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif untuk melihat peran perempuan dalam FKUB dan menghasilkan beberapa temuan. Pertama, proporsi anggota laki-laki dan perempuan di FKUB masih sangat timpang sehingga anggota laki-laki masih mendominasi. Data yang dikumpulkan dari 14 FKUB Provinsi menunjukkan bahwa komposisi anggotanya terdiri dari 91.3 % laki-laki dan 8.7 % perempuan. Sementara itu, dari data 101 FKUB kabupaten/kota, ditemukan bahwa 92.8 % anggotanya adalah laki-laki. Hal ini juga dipengaruhi oleh isi Peraturan Bersama Menteri 2006 yang mengatur keanggotaan FKUB.

Kedua, selain dari segi keanggotaan, Rohmawati juga melihat aspek program dan tema acara yang diusung FKUB. Isu yang dibahas kebanyakan berfokus pada ekstremisme dan terorisme, hanya sedikit yang secara membahas isu perempuan. Ketiga, dari segi narasumber dan fasilitator, masih banyak FKUB yang menyelenggarakan acara dengan anggota panel yang semuanya terdiri dari laki-laki. Keempat, dari segi peserta acara, masih banyak acara FKUB yang hanya memiliki sedikit peserta perempuan. Meski demikian, ada juga FKUB yang secara khusus mengundang 150 tokoh agama perempuan sebagai perwakilan berbagai organisasi keagamaan.

Keterbatasan ruang yang mengakomodasi peran perempuan menyebabkan minimnya kesempatan bagi perempuan untuk mengikuti pelatihan yang dapat membangun kapasitasnya untuk berperan di ruang dialog antar-agama. Mengingat potensi perempuan yang besar untuk mendorong kerukunan di masyarakat, Rohmawati (2020) mengusulkan adanya kuota 30% bagi  anggota perempuan di FKUB sebagaimana yang ada di lembaga legislatif serta adanya upaya pengarusutamaan gender di kegiatan-kegiatan FKUB. Sudah saatnya ruang dialog antar-agama dibuat lebih inklusif agar ia tidak sekadar menjadi forum formalistis dan terbatas pada aspirasi elit masyarakat saja.***



[1] Penelitian sebelumnya yang mempelajari pengaruh maskulinitas dan femininitas terhadap proses dialog dan negosiasi menunjukkan bahwa perempuan cenderung menggunakan negosiasi dengan pendekatan integratif yang mengutamakan hubungan antar pihak dan pemenuhan kebutuhan seluruh pihak. Di sisi lain, laki-laki kerap menggunakan pendekatan distributif yang berfokus pada hasil.  (Sheryl D. Brahnam, et al, “A gender-based Categorization for Conflict Resolution,” dalam Journal of Management Development, 24, 3, 2005, 203-204)

Comments

  1. sakidbet เกมสล็อตคาสิโนออนไลน์ได้รับความนิยมอย่างมากมายในวงกว้าง pg slot เนื่องด้วยเป็นเกมที่นำความเพลิดเพลินแล้วก็โชคลาภมาผสมเข้าด้วยกันอย่างพอดี นี่เป็นเหตุผลที่เกมสล็อต

    ReplyDelete
  2. pg slot เว็บไซต์ตรง ได้ง่ายสุดๆที่สุดรวมถึงฝากถอนเงินในแต่ละครั้งได้ไม่มีอย่างน้อย pg slot สิทธิพิเศษในการวางเดิมพันที่จะสามารถทำให้ทุกๆคนใกล้เงินจำนวนเป็นอันมาก รวมถึงยังสามารถทำวางเดิมพัน

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

A Marxist Analysis : Bitcoin as Capitalism’s Latest Fetish of Commodity

Meneguhkan Lagi Peran Akal, Kebebasan dan Toleransi: Memperimbangkan Tawaran Mustafa Akyol