Meneguhkan Lagi Peran Akal, Kebebasan dan Toleransi: Memperimbangkan Tawaran Mustafa Akyol

 Oleh: Raditya Darningtyas

Ringkasan Buku


Judul:        Reopening Muslim Minds: A Return to Reason, Freedom, and Tolerance

Penulis:     Mustafa Akyol           

Penerbit:    ST. Martin's Essentials, 2021

Tebal:        v + 298 halaman

 

Dalam buku ini, Akyol mengulas bagaimana perkembangan sejarah pemikiran Islam berpengaruh pada kemajuan dan kemunduran peradaban Islam. Akyol menjelaskan bahwa sejarah awal islam ditandai oleh kontestasi di antara dua aliran etika yang disebutnya “teori perintah ilahi” dan “teori objektivisme etis”. Aliran etika yang pertama berkembang terutama dalam bentuk Aliran Asy’ariyah, satu aliran teologi Sunni yang menekankan kewenangan mutlak kitab suci dan ulama (sarjana agama).

Akyol mengulas bagaimana aliran Asy’ariyah tumbuh menjadi aliran teologi yang dominan dalam sebagian besar sejarah Islam bukan karena kekuatan argumentasinya, tetapi karena dukungan para pemimpin otoritarian kepadanya. Hal ini disebabkan oleh kesamaan kepentingan di antara elite politik dan agama yang memutuhkan kepatuhan mutlak rakyatnya dalam memerintah. Pemaksaan kehendak penguasa dijustifikasi menggunakan interpretasi teks keagamaan yang menguntungkan kepentingan elit tertentu. Menurut Akyol, kecenderungan ini terus bertahan di masa modern, di mana aliansi pemimpin otoriter dan ulama konservatif terus membungkam kebebasan dengan mengatasnamakan perintah Tuhan.

Di sisi lain, “objektivisme etis” diusung oleh aliran yang disebut sebagai Mu’tazila. Aliran ini menekankan pentingnya menggunakan akal dan rasionalitas berpikir dalam menginterpretasi teks ilahi. Prinsip keterbukaan pada pemikiran kritis juga mendorong umat Muslim untuk tetap menggunakan nurani atau conscience dalam diri masing-masing dalam menentukan baik dan buruk. Alih-alih terjebak pada pemahaman teks ilahi secara literal, aliran ini menekankan pentingnya melihat konteks dan merayakan reason. Keterbukaan pemikiran ini merayakan upaya untuk mencari ilmu pengetahuan baru yang pada gilirannya melahirkan banyak ilmuwan maupun filsuf Muslim yang buah pikirannya berkontribusi pada kemajuan peradaban manusia hingga sekarang.

Akibat pemikirannya, banyak pemikir Islam dari kedua aliran di atas yang mengalami persekusi pada periode sejarah tertentu. Namun pada akhirnya Akyol menunjukkan bagaimana warisan pemikiran Asy’ariyah saat ini lebih mendominasi banyak institusi keagamaan di negara-negara Muslim dan berdampak pada pembungkaman ulama yang tidak sependapat dengannya dengan tuduhan “kesesatan” atau heresy. Akyol mendemonstrasikan bagaimana kecenderungan untuk menyebut pemikiran yang berbeda sebagai “sesat” membunuh budaya intelektualisme dan keterbukaan menerima kebenaran dari peradaban lain.

Melalui kajian historis, Akyol menunjukkan bagaimana pembungkaman terhadap aliran apapun (khususnya Mu’tazila) berpengaruh pada stagnasi bahkan kemunduran peradaban Islam. Tradisi pembuktian kebenaran melalui cara-cara yang etis, rasional dan saintifik dianggap tidak penting atau bahkan membahayakan keimanan seorang Muslim. Islam yang ketika pertama kali turun membawa nilai-nilai kemanusiaan seperti pemenuhan hak kelompok lemah dan minoritas, kesetaraan gender, toleransi, dan keadilan sosial justru mengalami kemunduran. Akyol mendorong agar kaum Muslim mereguk kembali nilai-nilai pencerahan, yang pernah menjadi landasan kokohnya peradaban Islam (yakni penghormatan atas akal dan pikiran, kebebasan, dan toleransi), berdasarkan sumber-sumber tradisi Islam sendiri.

Sambil mengklarifikasi berbagai aspek dari kandungan Al-Qur’an dan sejarah Islam yang sering disalahpahami, Akyol mengajak para pembacanya untuk menengok kembali warisan para pemikir Muslim awal yang menghargai tinggi akal dan pikiran, sains dan teknologi, kebebasan dan tanggung jawab individual manusia sebagai makhluk Tuhan, khususnya sumbangan pemikiran filsuf Muslim abad ke-12 Ibn Rusyd.

Akyol menggarisbawahi pentingnya menerapkan nilai-nilai ini untuk meneguhkan kembali peradaban Islam. Ringkasnya, seraya mengutip satu ayat Al-Qur’an, Akyol menulis: “The big remedy we need … is really having ‘no compulsion in religion.’ It is, in other words, giving up coercive power in the name of Islam. … This means no more religious and moral policing, no threats to apostates and ‘innovators,’ no blasphemy laws, no public flogging or stoning, and no violence or intimidation in the family.”***

Comments

  1. เล่น มายคราฟ สร้างบ้าน เล่น Pg slot สร้างเงิน มารู้จักเกมมายคราฟ เป็นเกมที่ผู้เล่นสามารถสร้างสรรค์ตัวละคร เเต่เกมPg slot ของเรา เล่นง่าย เเละยังได้ลุ้นรับเงินจำนวนมาก

    ReplyDelete
  2. allslotz88 line ยอดเยี่ยมการผลิตรายได้ของคนยุคสมัยใหม่ pg slot ที่เต็มไปด้วยความมากมายหลากหลาย โอกาสใหม่ๆที่เหมาะสมที่สุด รวมทั้งความเบิกบานใจแบบจัดหนัก จัดเต็ม

    ReplyDelete
  3. ทางเข้า pg slot 88 แล้วกรอกข้อมูลส่วนตัวของคุณลงในฟอร์มการสมัคร หลังจากนั้นก็เสร็จสิ้นขั้นตอนการสมัครแล้ว pg slot คุณจะได้รับชื่อผู้ใช้งานและรหัสผ่านเข้าสู่ระบบจากนั้นคุณก็สามารถเลือกเกมสล็อต

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

A Marxist Analysis : Bitcoin as Capitalism’s Latest Fetish of Commodity

Perempuan dan Dialog Antar-Agama: Pengalaman Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Critical Review: Karl Marx's Economic and Philosophical Manuscript of 1844