Dekolonisasi Hak Asasi Manusia: Mempertimbangkan Tawaran An-Naim
Oleh: Raditya Darningtyas
Ringkasan Buku
Judul Buku: Decolonizing Human Rights
Penulis: Abdullahi
Ahmed An-Naim
Penerbit: Cambridge
University Press, 2001
Tebal: v +
138 halaman
Pemenuhan hak asasi manusia
(HAM) telah menjadi isu yang banyak dibicarakan sejak berkembangnya konsep dan
rezim HAM internasional tahun 1945-1948. Perdebatan tentang HAM, baik di ranah
konseptual maupun implementasi, kerap mewarnai pertemuan di antara negara
maupun aktor internasional dan domestik lainnya. Penegakan HAM yang konsisten
dan merata juga masih menjadi tantangan.
Mekanisme penegakan yang selama
ini bergantung pada rezim hukum internasional dan institusi antarnegara dinilai
kurang efektif dan bahkan melanggengkan praktik neokolonialisme yang kerap
melanggar HAM alih-alih memastikan perlindungan HAM di banyak wilayah. Buku
terbaru karya Abdullahi Ahmed An-Naim, Decolonizing Human Rights (Cambridge University
Press, 2021) mengamini adanya kebuntuan dalam upaya penegakan HAM
saat ini dan menawarkan cara-cara baru memajukan HAM melalui transformasi
budaya dan mobilisasi politik.
Penegakan HAM melalui kerangka
hukum internasional saat ini dinilai An-Naim kurang efektif karena beberapa
alasan. Pertama, sistem HAM
internasional terlalu bergantung dan berfokus pada negara. Negara
menjadi aktor utama yang memiliki kewajiban melindungi HAM sementara negara
juga yang menjadi aktor pelanggar HAM. Hal ini menimbulkan apa yang An-Naim
sebut sebagai paradoxical paradigm perlindungan
HAM di bawah hukum internasional. Mekanisme ratifikasi traktat HAM oleh negara
juga dianggap tidak efektif: selain karena tidak semua negara
bersedia melakukannya, negara yang bersedia pun masih bisa melakukan “reservasi” pada pasal-pasal
tertentu untuk mengurangi atau memodifikasi substansi dalam traktat guna
mengurangi tanggung jawab mereka.
Kedua,
penegakan HAM melalui mekanisme intervensi humaniter dinilai sangat bermasalah
karena bersifat koersif dan merupakan cerminan kebijakan neokolonialisme
negara-negara Barat yang ingin memenuhi kepentingan nasionalnya. Kekuatan
militer yang dikerahkan saat intervensi selalu menimbulkan korban jiwa yang
justru semakin memperparah penderitaan warga sipil. Keterbatasan budaya, bahasa
dan pengetahuan lokal aktor yang melakukan intervensi humaniter menyebabkan
sulitnya mendapatkan rasa percaya dan legitimasi dari masyarakat lokal. Durasi
intervensi yang singkat juga biasanya tidak memungkinkan adanya upaya pemulihan
yang komprehensif sehingga justru menyulitkan terciptanya kondisi perdamaian
yang berkelanjutan.
Ketiga, klaim”
universalitas” norma HAM yang selama ini diusung bertentangan dengan realita
perbedaan budaya dan konteks di berbagai belahan dunia. Konseptualisasi
nilai-nilai HAM juga dinilai An-Naim sangat bias pada kebudayaan Barat sehingga
abai dengan perspektif budaya negara-negara lain. Contohnya,
pengutamaan hak sipil dan politik dibanding sosial ekonomi dalam diskursus HAM
menyebabkan pemerintah negara-negara Selatan lebih mudah dituduh sebagai
pelanggar HAM ketimbang negara Barat. Padahal pemenuhan hak sipil-politik dan
sosial-ekonomi saling terkait, sehingga menghukum negara berkembang dengan
sanksi ekonomi atas pelanggaran hak sipil yang dilakukan oleh pemerintah negara
tersebut justru akan semakin menyulitkan penegakan HAM.
Dengan menganalisis sejarah
pembentukan norma HAM sejak Deklarasi Universal HAM tahun 1948 hingga proses
kodifikasi norma HAM ke dalam beragam perjanjian internasional, An-Naim
menunjukkan ketidakmampuan kerangka legal dalam menegakan norma-norma tersebut.
Dia juga
memberi kritik yang dalam mengenai kebijakan HAM Amerika Serikat yang selama ini
gencar mempromosikan dirinya sebagai pelindung HAM sebagai salah satu negara
maju dengan rekam jejak pelanggaran HAM paling parah. Intervensi humaniter yang
mengatasnamakan “masyarakat internasional” sering dijadikan sebagai alat
pemenuhan kepentingan nasional Amerika Serikat. Beberapa contoh seperti
kebijakan luar negeri AS dalam menginvasi Irak dan Afghanistan juga turut
dikritik An-Naim.
Praktik organisasi internasional
yang terkesan “tebang
pilih” dalam
melaporkan pelanggaran HAM di negara tertentu namun tidak di negara lain juga
makin mempertegas adanya relasi kuasa dalam hubungan internasional. An-Naim
menunjukkan bahwa
dalam
banyak kasus, organisasi HAM internasional menerima pendanaan dari negara-negara
maju saja sehingga standar akuntabilitas yang diterapkan ke negara maju dan
berkembang menjadi tidak adil. Strategi name
and shame yang digunakan untuk mempengaruhi perilaku pemerintah negara
pelanggar HAM juga kerap kontraproduktif dengan perlindungan HAM masyarakat setempat.
An-Naim menawarkan konsep 3C
atau concept, content, dan context dalam
memahami dan menerapkan HAM. Konsep universalitas HAM perlu melihat content, yaitu klaim untuk mengartikan
norma yang dianggap universal dengan makna tertentu. Sementara konteks budaya
dan politik di suatu negara juga penting untuk memahami bagaimana aktor di berbagai
negara lain memaknai atau menerapkan perlindungan hak asasi.
An-Naim berpendapat bahwa
penegakan HAM dapat berjalan efektif ketika proses organik di level komunitas
juga berjalan melalui proses transformasi budaya oleh masyarakat. Transformasi
budaya dapat diarahkan agar menciptakan atau pun
melanggengkan perilaku dan relasi sosial yang saling melindungi hak sesama
manusia dalam sebuah komunitas. Mobilisasi politik seperti gerakan sosial yang
dikelola langsung oleh konstituen untuk menyebarkan nilai-nilai HAM juga
dinilai akan lebih mudah diterima dan diterapkan dalam jangka waktu panjang
ketimbang pemaksaan nilai HAM melalui intervensi humaniter maupun imposisi
nilai melalui ragam hukum maupun institusi internasional yang mendominasi rezim
HAM saat ini.***
pg game slot pocket games ได้ก้าวขึ้นมาเป็นหนึ่งในนวัตกรรมที่น่าติดตามในโลกของเกมสล็อตออนไลน์ pg slot เกมนี้ไม่เพียงทำให้ผู้เล่นตื่นเต้นและสนุกสนาน กราฟิกที่ทันสมัยและความคล่องตัว
ReplyDelete