Analisis Eko-Sosialisme : Dampak Perdagangan Kopi Global terhadap Lingkungan di Nikaragua


1.       Latar Belakang
Dinamika hubungan perdagangan internasional  antara Negara Utara dan Selatan cenderung eksploitatif dimana sumber daya, baik alam dan manusia, dari Negara-negara Selatan terus dieksploitasi demi terwujudnya akumulasi keuntungan aktor-aktor kapitalis dari Negara-negara Utara.  Sistem perdagangan global biasanya yang menyasar buruh murah dan pengendalian biaya produksi serendah-rendahnya sehingga menimbulkan eksploitasi lingkungan dan permasalahan kesejahteraan usaha kecil dan menengah local di Negara-negara berkembang. Makalah ini akan berusaha menjawab pertanyaan; Bagaimana Liberalisasi Perdagangan Kopi Global Menyebabkan Kerusakan Lingkungan di Negara Selatan Selaku Negara Produsen  dengan Studi Kasus industry kopi local di Nikaragua ?
Salah satu komoditas sumber daya alam yang menjadi sasaran eksploitasi di Negara-negara Amerika latin adalah kopi. Kopi merupakan komoditas yang paling banyak diperdagangkan kedua setelah minyak bumi, sehingga ia bukan aja menjadi tulang punggung penopang perekonomian banyak Negara-negara berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika tapi juga menjadi sumber penghidupan dari 25 juta lebih penduduk miskin dunia.[1] Kopi juga merupakan komoditas yang mayoritas proses produksinya masih dipegang oleh petani dan industri agrikultur rumahan berskala kecil menengah.  Jatuhnya harga kopi dunia, kelebihan pasokan, dan kontrol korporasi swasta atas jaringan produksi internasional tentu akan embawa dampak  signifikan bagi industry kopi local. Negara Selatan penghasil kopi pun kemudian banyak yang berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dmei memenuhi permintaan pasar dengan intesifikasi agrikultur dan penerapan teknologi negara Utara yang diklaim dapat memaksimalkan produktifitas tanpa mengindahkan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Fenomena semacam ini kemudian menjadi pemicu munculnya berbagai pendekatan ilmu sosial dan ekonomi yang berupaya menjadikan isu lingkungan sebagai objek utama ke dalam apa yang disebut sebagai Teori Hijau. Berbagai pendekatan penyelamatan lingkungan pun muncul. Contoh dari semangat untuk mengatasi dampak buruk kapitalisme yang semakin mengancam keselematan lingkungan global ini misalnya samelalui apa yang di sebut sebagai program-program pembangunan berkelanjutan. Salah satu contoh program yang diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan diatas adalah penerapan Fair Trade yang memberi label khusus bagi produk kopi yang di produksi tanpa merusak lingkungan dan tetap memberi upah yang manusiawi bagi petani sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat dunia untuk tidak membeli produk kopi  non fair trade sebagai bentuk kontribusi mereka dalam menyelamatkan lingkungan. Namun banyak yang meniali bahwa kebijakan fair trade hanyalah ilusi untuk mengaburkan kesadaran masyarakat atas mode pembangunan kapitalisme yang secara inheren akan selalu bertentangan dengan upaya penyelamatan lingkungan. Dalam makalah ini, selain menganalis proses eksploitasi dan perusakan lingkungan oleh system kapitalisme global dalam industry kopi local melalui kacamata eco-sosialisme sebagai salah satu cabang Green Theory, saya juga akan menganalisis efektivitas penerapan kebijakan fair trade dalam menyejahterakan industry kopi local dan menyelamatkan lingkungan dengan mengambil studi kasus penerapan kebijakan free trade dalam industry kopi di Nikaragua.
Nikaragua dipilih karena ia merupakan salah satu Negara Amerika Latin dimana kopi menjadi sumber pemasukan yang signifikan. Kopi merupakan hasil panen agrikultur yang menopang 30 persen dari total ekspor Nikaragua[2] dan merupakan mesin pembangunan dan sumber lapangan pekerjaan bagi banyak masyarakat pedesaan. Terdapat kurang lebih 30.400 produsen kopi di Nikaragua yang 80 persen diantaranya merupakan petani kecil dengan tanah kurang dari 5 hektar.[3] Liberalisasi perdagangan dan derasnya pengaruh system ekonomi global di Nikaragua dewasa ini kemudian menimbulkan kerugian bagi petani pedesaan yang juga berujung pada ancaman bagi lingkungan sehingga studi kasus efektivitas penerapan free trade  di industry kopi Nikaragua menjadi sampel yang cocok untuk diteliti apabila kita ingin melihat leih jauh bagaimana berkembang seperti Nikaragua berusaha mencari solusi atas permasalahan ekologi di tengah situasi mendesak untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

2.       Literatur Review : Pendekatan atau kerangka konseptual
2.1 Kemunculan Teori Hijau dalam Ilmu Hubungan Internasional
Dari sekian banyak perspektif yang muncul, politik atau teori hijau merupakan perspektif termuda yang dikembangkan dalam disiplin ilmu hubungan internasional sehingga masih sulit bagi kita untuk menganggapnya sebagai satu kesatuan teori yang koheren. Meskipun isu-isu lingkungan mulai mendapat perhatian public sejak awal kemunculan teknologi di era revolusi industri yang menghasilkan limbah sisa proses produksi yang mengancam lingkungan, proses teorisasi yang berupaya merumuskan krisis ekologi sebagai permasalahan global yan layak mendapat perhatian dispilin ilmu HI baru mendapat perhatian khusus diawal tahun 1990an. Setelah melewati masa perdebatan dengan perspektif-perspektif lain yang lebih tua didalam HI,  teori hijau juga kemudian berkembang dalam upayanya merumuskan gerakan politik hijau macam apa yang paling ideal untuk menghadapi tantangan krisis lingkungan global dan bagaimana para aktivis bisa merekonstruksi politik dunia untuk menyelamatkan lingkungan.[4]  Proses teorisasi yang juga berupaya merumuskan solusi penyelamatan lingkungan ini kemudian berkembang dan mengadopsi berbagai fitur dari berbagai perspektif seperti liberal institusionalisme dengan solusi berupa rezim kerja sama lingkungannya, sosialisme yang akhirnya melahirkan eko-sosialisme dengan solusi penghapusan kapitalisme sebagai moda produksi yang mengeksploitasi alam sebagai syarat penyelamatan lingkungan, feminism yang melahirkan eko-feminisme, dan ekonomi hijau yang melahirkan solusi ekonomi liberal seperti pembangunan berkelanjutan, fair trade,  dan lain-lain.
Narasi-narasi pentingnya penyelamatan lingkungan yang digaungkan politik hijau sebenarnya mulai muncul sebagai kekuatan politik yang signifikan di banyak negara sejak pertengahan 1970an. Banyak hasil tulisan pemikir hijau dan praktik gerakan-gerakan hijau yang mulai mencakup analisis dan  dinamika politik global sebagai bagian dari solusi yang mereka tawarkan dalam upaya penyelamatan lingkungan yaitu visi normatifnya untuk menstruktur ulang dan mendekonstruksi pemahaman kita soal politik internasional.  BAB 1 akan berupaya untuk menjabarkan pemikiran-pemikiran politik yang menyusun posisi teoritis Teori Hijau dalam hubungan internasional serta menyoroti argument-argumen yang berkembang didalamnya.

 2.2 Perkembangan dan Cabang-Cabang Perspektif / Teori Hijau
Kesadaran akan adanya hubungan antara proses globalisasi khususnya di bidang ekonomi dan kerusakan lingkungan menjadi factor terpenting yang mendorong lahirnya teori hijau. Namun lahirnya kesadaran untuk menyelamatkan lingkungan ini bukan berarti turut melahirkan teori hijau yang seragam dan unified. Didalam perkembangan tersebut, perspektif atau Teori Hijau, banyak kontestasi gagasan yang disebabkan adanya keberagaman solusi penyelamatan lingkungan yang ditawarkan dan perdebatan-perdebatan lain yang bersifat ontologis mengenai berbagai konsep seperti apakah hak dan kewajiban manusia setara dengan spesies lain, perlu atau tidaknya desentralisasi upaya penyelamatan lingkungan, dan lain sebagainya.
Akibat keragaman ide yang muncul dalam perspektif hijau dan sulinya menyatukan mereka kedalam posisi teoritis yang unified, penting bagi kita untuk memahami bahwa teori hijau memiliki spectrum posisi teoritis dan stance  yang beragam, bahkan bisa berlawanan satu sama lain. Terdapat spekrtum mulai dari yang paling liberal hingga radikal seperti teori ‘hijau muda’ dengan ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutannya, ‘hijau tua’ dengan eko-anarkismenya, hingga ‘hijau merah’ dengan eko-sosialismenya yang berupaya menggabngkan perspektif sosialisme Marx dengan teori politik hijau.
Pertama, penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara apa yang dimaksud dengan teori politik hijau dan environmentalisme secara umum.[5] Secara garis besar, environmentalisme menerima kerangka struktur politik, sosial, ekonomi, dan norma yang telah ada dan berupaya mengatasi permasalahan lingkungan tersebut dengan melalui penggunaan struktur yang sama, semacam masih beekrja didalam system yang telah ada. Pemikiran environmentalisme mainstream yang terkesan lebih ‘lunak’ terhadap system global yang telah ada lebih banyak mengadopsi posisi teoritis liberal institusionalisme.[6] Environmentalisme mendukung kemunculan rezim kerja sama lingkungan internasional seperti pembentukan aturan-aturan dan organisasi internasional untuk membatasi aktivitas aktor internasional dalam mengeksploitasi lingkungan. Mereka memercayai solusi ini efektif  dengan berasumsi bahwa system negara dan politik internasional yang ada sekarang mampu merespon permasalahan lingkungan dengan seperangkap instrument hukum dan mekanisme politik untuk mengatasi permasalahan aksi kolektif tersebut.
Sementara teori politik hijau menganggap struktur politik, ekonomi, sosial, dan norma yang telah ada justru menjadi sumber permasalahan lingkungan yang masyarakat dunia alami sehingga prasyarat menyelesaikan permasalahan lingkungan adalah dengan mendekonstruksi dan menngubah kerangka sistem politik global yang telah ada.[7] Teori politik hijau lebih skeptis dengan efektivitas dan kemampuan sistem negara dan struktur politik global yang telah ada (e.g. organisasi internasional bidang lingkungan seperti UNEP[8], hukum internasional bidang lingkungan seperti Perjanjian Paris) dalam menangani permasalahan lingkungan secara tuntas. Teori politik hijau lebih menitikberatkan pada pentingnya upaya untuk mentransformasi system politik secara global ketimbang sekedar melakukan penguatan kelembagaan yang telah didirikan.
Mengingat perspektif Hijau memiliki ragam pemikiran yang membuatnya tidak seragam sepbagaimana perspektif HI yang lebih tua seperti realisme atau liberalism, sebagai sebuah rezim perspektif atau teori, teori politik hijau memiliki paling tidak tiga ciri utama yang menjadi ciri khas teori poltiik hijau, yaitu: (a) adanya konsep ekosentrisme; (b) kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi dan populasi masyarakat secara inheren bertentangan dengan agenda penyelamatan lingkungan sehingga harus dibatasi; dan (c) pembahasan mengenai desentralisasi sebagai solusi atas system negara dan politik global saat ini yang secara inheren akan menyebabkan krisis lingkungan.. Terdapat beberapa literatur yang membahas mengenai karakteristik-karakteristik diatas yang kemudian menjadi landasan gagasan-gagasan teori politik hijau dalam hubungan internasional.
a.       Ekosentrisme
Robyn Eckersey, seorang ahli politik hijau dari Australia menyebutkan bahwa karakteristik utama dari teori politik hijau adalah apa yang ia sebut sebagai ekosentrisme  – yaitu lawan dari pandangan antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai spesies utama dan paling penting dimana penilaian kenyataan dinilai melalui sudut pandang manusia yang ekslusif.[9] Ekosentrisme berupaya mengkritik anggapan yang menempatkan kepentingan manusia diatas kepentingan alam dan spesies lainnya (supremasi manusia) yang biasanya menjadi justifikasi kaum antroposentris dalam menyelamatkan lingkungan (e.g. narasi bahwa kita harus menyelamatkan lingkungan demi kepentingan dan keselamatan manusia semata dan bukan karena alam memang secara inheren harus diberikan hak-haknya). Ekosentrisme menurut Eckersey memiliki beberapa fitur utama. Secara empiris, ekosentrisme mencakup pandangan bahwa dunia ini secara ontologis sebenarnya terdiri dari kumpulan hubungan – hubungan antar spesies, sehingga menolak pandangan yang melihat dunia sebagai kumpulan entitas individu yang terpisah satu sama lain.[10] Ia percaya bahwa seluruh makhuk hidup secara fundamental terhubung dalam sebuah hubungan ekologis yang menjadikan kita satu kesatuan dengan alam,[11] sehingga sebagai konsekuensinya kita tidak bisa benar-benar membuat stratifikasi derajat bahwa manusia berada diatas spesies non-manusia. Ekosentrisme berupaya mengemansipasi hak alam dan makhluk hidup non-manusia karena manusia secara inheren tidak memiliki hak untuk mendominasi atau meneksploitasi mereka.
b.      Pembatasan Pertumbuhan Ekonomi dan Populasi Masyarakat
Selain penolakan terhadap antroposentrisme, karakteristik kedua dari Teori Politik Hijau menurut Andrew Dobson adalah argument pembatasan pertumbuhan ekonomi yang dianggap sebagai penyebab utama krisis terjadinya krisis lingkungan.[12] Menurut Matthew Paterson, karakteristik tambahan Dobson menjadi penting karena ia tidak sekedar mereduksi teori politik hijau hanya sebatas penempatan posisi moral yang lebih tinggi terhadap komponen alam non- manusia semata, namun juga menjelaskan argumentasi yang berupaya menjawab mengapa lingkungan bisa sampai dirusak oleh manusia.[13] Teori politik hijau percaya bahwa pertumbuhan ekonomi secara eksponensial dan pertumbuhan populasi manusia secara inheren menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan. Pertumbuhan ekonomi akan secara alami menyebabkan habisnya sumber daya alam untuk menunjang kehidupan manusia seperti sumber pangan dan bahan mentah untuk keperluan pertumbuhan industry. Hal ini juga diperparah dengan ketidakmampuan lingkungan untuk menyerap limbah proses produksi industri akibat jumlahnya yang semakin banyak melebihi kapasitas alam untuk mengolahnya secara alami.[14]
Teori politik hijau percaya bahwa pertumbuhan eksponensial tidak mungkin terjadi didalam system dengan jumlah sumber daya yang terbatas. Tidak peduli secanggih apapun teknologi yang digunakan dalam proses industrialisasi agar memproduksi polusi seminimal mungkin, teori hijau percaya hal ini tidak serta merta mencegah terjadinya krisis namun hanya sekedar menunda datangnya krisis. Dari sinilah kemudian beberapa gagasan environmentalis soal ‘pembangunan berkelanjutan’ seperti penggunaan teknologi hijau dalam proses industrialisasi, fair trade, dan anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui mode produksi kapitalisme yang ada saat ini bisa berjalan beriringan dengan upaya penyelamatan lingkungan dikritik habis-habisan oleh teori hijau sebagai sebuah solusi yang tidak efektif dan artificial.
c.       Desentralisasi
Karakteristik ketiga yang juga tak kalah penting menurut Paterson adalah pentingnya kehadiran konsep desentralisasi dalam upaya penyelamatan lingkungan.[15] Meskipun didalam tubuh teori politik hijau sendiri efektivitas dan perlu atau tidaknya desentralisasi  masih menjadi perdebatan, konsep desentralisasi tetap memegang peranan penting dimana banyak argument ekosentrisme dan pembatasan ekspansi pertumbuhan ekonomi yang diturunkan dari prinsip desentralisasi.[16] Konsep desentralisasi juga memegang peranan penting bagi teori politik hijau dalam konteks hubungan internasional karena ia berkaitan langsung dengan struktur tatanan politik global yang dianggap terpusat pada satu system yang destruktif terhadap lingkungan hidup. Teori politik hijau menolak adanya system negara yang ada saat ini karena diangap sebagai system yang secara inheren bersifat eksploitatif terhadap alam.
Sebagai alternatif, teori politik hijau memimpikan terwujudnya jaringan global yang terdiri dari komunitas masyarakat skala kecil yang mandiri sebagaimana yang diimpikan kaum bioregionalists seperti E. F. Schumacher[17] dan Kirkpatrick Sale.[18] Bioregionalist berargumen bahwa ecological societies should be organized with natural environmental features such as watersheds forming the boundaries between communities where relations within communities would be libertarian, egalitarian and participatory.[19] Hal ini memunculkan asumsi kemunculan krisis lingkungan yang berbeda dari environmentalisme yang menganggap tragedy of the commons (yang menganggap keserakahan manusia sebagai sesuati yang alamiah) sebagai sumbernya. Teori politik hijau melihat sumber krisis lingkungan sebagai akibat dari munculnya relasi sosial yang hierarkis dan adanya penyaluran energy manusia ke dalam aktivitas produktivisme dan konsumerisme.[20] Bioregionalist percaya bahwa masyarakat yang ideal adalah system masyarakat yang menyediakan ruang bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya melalui cara-cara yang tidak bergantung pada kegiatan konsumsi yang memakan banyak sumber daya dan tidak bergantung pada actor lain atau sumber daya tertentu secara berlebihan. Komunitas masyarakat semacam ini diharapkan dapat membangun jaringan melalui relasi tanggung jawab penjagaan lingkungan yang mencakup satu sama lain dan pertukaran budaya yang sama-sama bertujuan melindungi keseimbangan alam global.
Berdasarkan tiga karakteristik umum diatas, teori politik hijau kemudian mengooptasi beberapa cabang pemikiran lainnnya hingga melahirkan berbagai cabang teori hijau dengan ragam solusi penyelamatan lingkungan masing-masing seperti eko-feminisme, ekonomi hijau, eko-anarkisme, eko-sosialisme, dan teori-teori lain yang masuk kedalam perspektif hijau. Eko-sosialisme inilah yang akan menjadi landasan konseptual makalah ini untuk menganalisis fenomena kerusakan lingkungan akibat industrialisasi global yang terjadi dalam studi kasus industri kopi di Nikaragua.

2.3 Eko-Sosialisme sebagai Cabang Pemikiran Teori Hijau : Asumsi Dasar dan Variabel
Sosiolog Marxist berdarah Brazil-Prancis, Michael Lowy dalam essaynya yang berjudul  What Is Ecosocialism? Mendefiniskan eko-sosialsme secara paradigmatik sebagai : “current of ecological thought and action that appropriates the fundamental gains of Marxism while shaking off its productivity dross”.[21] Sementara sosiologi asal Amerika Serikat James, O’Connor mendefinisikan eko-sosialisme sebagai : “theories and movements that seek to subordinate exchange-value to use-value, by organizing production as a function of social needs and the requirements of environmental protection.”[22] Tujuan dari teori ini adalah pendirian masyarakat yang ecologically rational[23] yang berlandaskan democratic control, social equality, dan the predominance of use-value..[24] cita-cita ini mengasumsikan adanya kepemilikan kolektif atas moda produksi untuk mencapai tujuan kegiatan produksi yang menyejahterakan sembari meberi ruang bagi masyarakat untuk merencanakan kegiatan pembangunannya sendiri agar tidak merusak lingkungan.
Eko-sosialisme berusaha mengapropriasi pemikiran sosialisme yang menganggap bahwa system kapitalisme sebagai sumber dari segala eksploitasi yang dialami manusia dengan mengklaim baha kapitalisme juga menjadi sumber eksploitasi terhadap lingkungan hidup yang menjadi sumber daya alam kegiatan produksi. Logika pemilik modal yang selalu mengejar keuntungan dan negara yang menginginkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya akan berujung pada eksploitasi sumber daya manusia (pekerja) tapi juga akan selalu berujung pada penggunaan sumber daya yang berlebihan dan eksploitatif (bahan mentah seperti minyak bumi, hasil pangan,logam berharga, dan lain-lain). Disinilah eko-sosialisme sebenarnya memiliki karakteristik ekosentrisme dimana ia berupaya mengritik teori sosialisme yang dianggap terlalu focus dengan penderitaan pekerja (manusia) dan melupakan eksploitasi yang dialami alam sebagai bahan mentah suatu kegiatan produksi.
Meskipun mengritik produktivisme pekerja yang terdapat dalam logika sosialisme dan mendominasi gerakan - gerakan pekerja, eko-sosialisme menyadari bahwa keberadaan pekerja dan organisasinya adalah kekuatan yang penting untuk dimobilisasi dalam rangka menghancurkan system kapitalisme global yang ada serta mendirikan masyrakat ekologis baru yang sosialis sebagaimana ynag dicita-citaakan teori politik hijau dalam konsep desentralisasi dan pendirian bioregionalismenya. Eco-sosialisme secara garis besar memiliki dua asumsi beserta argumentasi utama sebagai berikut :
1.      Moda produksi dan konsumsi yang menjadi basis pembangunan di negara-negara maju yang menganut kapitalisme tingkat lanjut, dimana ia didasarkan pada logika akumulasi kekayaan (modal, keuntungan, dan komoditas), pemborosan sumber daya alam, konsumsi berlebihan, dan eksploitasi lingkungan tidak dapat diekspansi ke belahan dunia lain tanpa menyebabkan krisis ekologi. Adanya system kapitalisme global saat ini kemudian semakin memperparah ketimpangan antara negara Utara dan Selatan baik dalam segi kemajuan ekonomi maupun skala keruakan lingkungan yang mereka alami.[25] Maka dari itu dalam makalah ini penulis akan mengambil studi kasus dari negara XXX yang merupakan bagian dari negara Selatan yang menjadi korban pembangunan a la negara Utara yang mengedepankan liberalisasi pasar dalam konteks ekonomi global. Alih-alih mendapatkan pembangunan dan keuntungan ekonomi yang berkelanjutan, proses pembangunan ini justru menyebabkan dampak negative bagi lingkungan negara Selatan yang irreversible  dan semakin menyebabkan penderitaan bagi masyarakat miskin.
2.      Apapun tujuannya, -- baik kemakmuran, pertumbuhan ekonomi, dll-- kelanjutan dari ‘kemajuan’ kapitalisme dan ekspansi peradaban manusia yang didasarkan pada ekonomi pasar dimana mayoritas penduduk dunia (negara-negara Selatan) mengonsumsi lebih sedikit sumber daya, akan mengancam keberlangsungan hidup mkhluk hidup yang menjadi bagian dari ekologi dunia beserta spesies manusia itu sendiri.[26] Hal ini menjadikan perlindugan atas lingkungan dan alam sebagai kepentingan manusia yang paling essensial.
Kesimpulannya, berdasarkan pemaparan diatas, beberapa variable dalam ekososialisme yang akan penulis teliti hubungan kausalitasnya adalah bagaimana upaya pembangunan yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan manusia (pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional) melalui moda produksi kapitalisme akan selalu menyebabkan kerusakan lingkungan. Dalam hal ini, penulis akan membahas upaya liberalisasi perdagangan komoditas kopi di level global yang turut melibatkan negara-negara Selatan penghasil kopi seperti Nikaragua dan negara Amerika Latin lainya. Vaiabel dependen yang menjadi pusat kajian eko-sosialisme adalah kerusakan lingkungan dan bagaimana cara mengatasinya. Sementara variable independen yang dianggap akan selalu berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan adalah moda produksi dan pembangunan kapitalistik yang banyak diterapkan oleh negara-negara Selatan dengan harapan dapat menyamai pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara Utara.


3.      Pembahasan dan Analisis
3.1  Perdagangan Kopi Global
Dinamika hubungan perdagangan internasional  antara Negara Utara dan Selatan cenderung eksploitatif dimana sumber daya, baik alam dan manusia, dari Negara-negara Selatan terus dieksploitasi demi terwujudnya akumulasi keuntungan aktor-aktor kapitalis dari Negara-negara Utara. Sistem perdagangan global biasanya yang menyasar buruh murah dan pengendalian biaya produksi serendah-rendahnya sehingga menimbulkan eksploitasi lingkungan dan permasalahan kesejahteraan usaha kecil dan menengah local di Negara-negara berkembang.
Salah satu komoditas sumber daya alam yang menjadi sasaran eksploitasi di Negara-negara Amerika latin adalah kopi. Kopi merupakan komoditas yang paling banyak diperdagangkan kedua setelah minyak bumi, sehingga ia bukan aja menjadi tulang punggung penopang perekonomian banyak Negara-negara berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika tapi juga menjadi sumber penghidupan dari 25 juta lebih penduduk miskin dunia.[27] Kopi juga merupakan komoditas yang mayoritas proses produksinya masih dipegang oleh petani dan industri agrikultur rumahan berskala kecil menengah.  Jatuhnya harga kopi dunia, kelebihan pasokan, dan kontrol korporasi swasta atas jaringan produksi internasional tentu akan membawa dampak  signifikan bagi industry kopi local.
Potensi profitabilitas kopi sebagai komoditas dunia dilihat oleh banyak negara produsen kopi khususnya negara- negara Selatan seperti anggota kawasan Amerika Latin sebagai peluang untuk meraup untung dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri dengan cara menyambut globalisasi dan perdagangan bebas yang dianggap mampu meningkatkan daya saing industry local dan pada akhirnya menciptakan kesjahteraan bagi warga negara. Namun globalisasi dengan persaingan yang ketat ini justru turut membuka ruang eksploitasi baik terhadap petani dan tentu saja alam akibat adanya desakan untuk mengurangi harga produksi seminimum mungkin untuk memaksimalkan keuntungan agar mampu bersaing di pasar global. Logika pencarian untung sebesar-besarnya demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi ini kemudian juga menuntuk negara produsen kopi untuk melakukan kegiatan produksinya (yaitu agrikultur) dengan cara-cara yang murah dan tidak ramah lingkungan.
Akibat adanya globalisasi ekonomi yang menciptakan interdependensi antar negara, ekonomi dalam negeri negara eksportir kopi yang bergantung pada perdagangan dunia pun rawan terhadap volatilitas pasar dunia. Beberapa tahun belakangan, pendapatan petain kopi mengalami penurunan drastic dan banyak dari mereka mendapatkan harga jual kopi yang jauh lebih rendah daripada biaya produksi yang mereka keluarkan.[28] Hal ini tidak hanya menyebabkan dampak ekonomi bagi petani namun juga ancaman bagi keselamatan lingkungan dan kelangsungan ekosistem dimana kopi tersebut dibudidayakan karena demi menutupi kerugian petani dan mendorong kenaikan keuntungan, mode produksi yang digunakan pun semakin tidak mengindahkan pelestarian lingkungan.
Nikaragua dipilih sebagai studi kasus karena ia merupakan salah satu Negara Amerika Latin dimana kopi menjadi sumber pemasukan yang signifikan. Kopi merupakan hasil panen agrikultur yang menopang 30 persen dari total ekspor Nikaragua[29] dan merupakan mesin pembangunan dan sumber lapangan pekerjaan bagi banyak masyarakat pedesaan. Terdapat kurang lebih 30.400 produsen kopi di Nikaragua yang 80 persen diantaranya merupakan petani kecil dengan tanah kurang dari 5 hektar.[30] Liberalisasi perdagangan dan derasnya pengaruh system ekonomi global di Nikaragua dewasa ini kemudian menimbulkan kerugian bagi petani pedesaan yang juga berujung pada ancaman bagi lingkungan.
3.2   Analisis Eko-Sosialisme : Dampak Perdagangan Kopi Global terhadap Lingkungan di Nikaragua
Kompleksitas rantai permintaan dan penawaran dari perdagangan global cenderung memarjinalkan petani kopi dimana satu per tiga dari petani kopi dunia hanya menikmati 10 % dari total harga ritel kopi di pasaran dunia.[31] Kompetisi antar pemasok bijih kopi yang 70 % diantaranya merupakan pemilik saham kecil dari kelas menengah kebawah mengalami berbagai tantangan baik pemangkasan harga untuk mampu bersaing dengan produsen lain maupun fluktuasi harga pasar yang tidak menentu. Tuntutan pemangkasan biaya produksi ini kemudian menyebabkan banyak petani harus bekerja ekstra dengan upah minimum yang diikuti dengan tuntutan untuk memproduksi biji kopi dengan jumlah maksmal namun dengan biaya sekecil mungkin. Hal ini kemudian mendorong pemerintah untuk menerapkan metode bertani yang lebih mementingkan hasil panen sebanyak mungkin diatas segalanya termasuk keseimbangan ekosistem dari area yang digunakan sebagai perkebunan. Konsumsi kopi masyarakat dunia yang tinggi, khususnya dari negara-negara maju dengan perusahaan multi nasionalnya seperti Starbucks menjadi insentif yang efektif untuk mendorong pemerintah negara-negara produsen kopi seperti Nikaragua untuk memaksimalkan ekspor kopi sebagai komoditas agrikultur utama yang diharapkan mampu meraup pertumbuhan ekonomi.
Di Nikaragua sendiri, aktivitas perdagangan kopi besar-besaran terjadi dimasa  pemerintahan Anastasio Somoza yang turut berpartisipasi dalam perdagangan kopi global dengan membuka pasar domestiknya terhadap investor dan perusahaan asing. Antara tahun 1960 hingga 1977, Nikaragua mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu sekitar 5 % per tahunnya berkat ekspor produk agrikultur  seperti kopi dan kapas.[32] Ledakan ekspor produk agrikultur khususna kopi tersebut juga turut meningkatkan jumlah kelas menengah urban di Nikaragua.[33] Signifikansi industry kopi bagi perekonomian Nikaragua saat itu sangan tinggi dimana 32 % dari lapangan pekerjaan di daerah pedesaan ditopang oleh sector pertanian kopi dan terdapat kruang lebih 200.000 rumah tangga yang menggantungkan pemasukan mereka sebagai buruh dalam industry kopi.[34]
Pemerintahan Somoza melalui politik populismenya berupaya menjustifikasi liberalisasi perdagangan di bidang agrikultur tersebut dengan dalih pembangunan nasional. Politik populisme Somoza kala itu juga meningkatkan investasi di bidang infratruktur, pendidikan, pembangunan pedesaan, dan industrialisasi. Dengan mengadopsi model import substitution dan mengkuti Central American Common Market, Nikaragua juga berhasil membangun spesialisasi produk baik di bidang pangan, bahan kimia, maupun manufaktur logam. [35] Peningkatan petumbuhan ekonomi yang pesat ini kemudian terus menjadi justifikasi kegiatan produksi kopi yang semakin tidak mengindahkan dampak negative lingkungan yang ditimbulkan. 
Sumber terbesar kerusakan lingkungan dari sektor agrikultur kopi ini terletak pada proses produksi biji kopi itu sendiri. Permintaan yang tinggi mendorong petani untuk mengubah teknik penanaman kopi tradisional yang ramah lingkungan namun kurang efektif dalam menghasilkan panen yang melimpah menjadi apa yang disebut sebagai teknik sun cultivation atau ‘penanaman matahari’. Kopi yang dihasilkan melalui cara tradisional ditanam dibawah naungan pepohonan yang menjadi pelindung sekaligus habitat hewan dan mencegah erosi tanah subur, sehingga mengurangi bahkan meniadakan penggunaan pupuk buatan. Sementara produksi biji kopi dengan teknik sun cultivation menanam kopi di perkebunan tanpa kanopi pepohonan yang berfungsi mengikat unsur hara di tanah, sehingga menyebabkan hilangnya keragama hayati lingkungan sekitar dan penggunaan pupuk yang semakin meningkat. Teknik penanaman matahari ini diperkenalkan oleh US Agency for International Developmen di tahun 1970 dan 80  bagian dari gelombang teknifikasi agrikultur di era Revolusi Hijau. Amerika Serikat merupakan salah satu investor asing terbear yang turut menaruh investasi senilai 80 juta dollar untuk mengganti mode produksi agrikultur di Amerika Tengah menjadi sun cultivation demi meningkatkan produksi panen.[36]
Tipe industry penanaman kopi semacam ini  menyebabkan punahnya spesies hewan seperti burung-burung karena perusakan habitat mereka dan juga serangga-seranga penjaga keseimbangan ekosistem akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Smithsonian Institute telah mengidentifikasi industry kopi semacam inilah yang menjadi ancaman terbesar punahnya beberapa spesies burung di benua Amerika akibat deforestasi lahan yang digunakan untuk penanaman kopi.[37] Sumber daya air dan tanah pun digunakan secara berlebihan untuk menunjang produksi kopi demi memenuhi peningkatan permintaan pasar dunia yang pesat. Penggunaan pestisida dan pupuk yang berlebihan juga tururt mengontaminasi kualitas air dan tanah yang tak jarah urut membahayakan keselamatan petani dan buruh tani lainnya. Akibat tidak adanya system pengolahan limbah pertanian yang terarah, tak jarang lmbah pertanian yang mengandung bahan kimia berbahaya juga dibuang begitu saja ke aliran-aliran sungai.
Dampak buruk lingkungan yang ditimbulkan kegiatan pembangunan bermoda produksi kapitalis semacam ini sesuai dengan analisis teori eko-sosialisme yang berargumen bahwa logika akumulasi keuntungan ala kapitalisme melalui penanaman modal investor negara Utara di negara produsen kopi di Selatan seperti Nikaragua akan selalu berujung pada eksploitasi lingkungan sebagai sumber daya alam dan penopang kegiatan produksi. Agenda ekspansi pasar dan penanaman modal dari negara utara baik melalui penanaman modal langsung ke industry kopi maupun perusahaan multinasional semacam Starbucks telah menyebabkan eksploitasi lingkungan di negara-negara Selatan. Justifikasi keuntungan yang didapatkan dari liberalisasi industry kopi pun tidak akan bertahan lama dan tidak sebanding jika dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang permanen. Alih-alih mampu menyusul pertumbuhan ekonomi dan kemajuan negara-negara Utara, negara Selatan seperti Nikaragua justru semakin terjebak dalam ketimpangan akibat krisis dan kerugian ekologis sebagai imbas dari perdagangan global yang kapialis. Kerusakan lingkungan ini tentu memiliki dampak khusus bagi penduduk miskin seperti buruh tani dan kelompok marjinal lainnya seperti kelompok masyarakat adat yang penghidupannya masih sangat bergantung dengan alam.
Mengingat persaingan harga kopi global yang ketat, tak jarang upah dan pendapatan petani lah yang harus dikorbankan sehingga semakin menimbulkan eksploitasi pekerja industry kopi di Nikaragua.Eksploitasi petani ini juga terjadi akibat rendahnya tingkat pendidikan buruh kopi sehingga membuat mereka rentan dengan kontrak kerja yang eksploitatif dan tidak menjamin kondis bekerja yang manusiawi. Pengetahuan akan teknologi bercocok-tanam yang canggih dan ramah lingkungan juga belum dimiliki petani local sehingga untuk memenuhi tuntutan produktivitas pasar global, mereka cenderung memilih metode bertanam yang cepat dan banyak menghasilkan panen namun tanpa mengindahkan dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan.
Selain itu, kopi sebagai komoditas perdagangan dunia telah sejak lama rentan terhadap volatilitas harga akibat cuaca yang tidak menentu, rute rantai suplai yang panjang, dan spekulasi investor yang menjadikan industry ini sebagai instrument keuangan. Sebelum sampai ke tangan konsumen, hasil panen kopi NIkaragua harus melalui banyak rute perantara. 75 %[38] dari total produksi kopi nasional harus melewati perusahaan merantara yang bertugas mengeringkan biji kopi sebelum diserahkan ke eksportir, pedagang, dan akhirnya importer asing. 10 – 12 %[39] diolah oleh perusahaan local mulai dari penanamna hingga pengeringan dan 10 – 12 %[40] lainnya diolah oleh koperasi sebelum akhirnya berada ditangan importer asing. Hanya 1 – 2 % dari total produksi kopi tersebut yang tidak menggunakan pihak perantara appaun dimana produsen kopi seperti petani local secara langsung menyerahkan kopinya ke importer asing sehingga menekan harga produksi dan memberi ruang bagi keuntungan yang lebih banyak bagi petani local. Kelompok terakhir tersebut biasanya mencakup produk Fair Trade Coffee dimana importer memiliki aturan lingkungan dan criteria sosial yang ketat dalam pengawasan metode produksi yang digunakan.
Namun kehadiran ini Fair Trade ini juga juga masih diragukan efekiviasnya. Sertifikasi fair trade yang ada saat ini dianggap tidak komprehensif dan dianggap tidak efektif karena solusi yang ditawarkan dianggap parsial. Hal ini disebabkan ragam sertifikasi fair trade seperti Fairtrade Foundation yang lebih berfokus pada penjaminan hak buruh dan sisi etis dari produksi kopi sementara sertifikasi lain seperti Rainforest Alliance lebih berfokus pada sisi dampak lingkungan yang ditimbulkan seperti pelarangan deforestasi. Metode eco labeling semacam ini sering dianggap hanya menyelesaikan masalah secara parsial dan tak jarang diangap sekedar strategi pemasaran greenwashing perusahaan-perusahaan besar dari negara Utara untuk menutupi keserakahan yang inheren didalam logika motif ekspansi pasar dan akumulasi keuntungan yang mereka jalankan.
Skeptisisme terhadap solusi fair trade ini sejalan dengan argumentasi eko-sosialisme yang menyangsikan efektifitas solusi penyelamatan lingkungan yang dangkal dan tidak menyelesaikan masalah langsung dari akar dari segala eksploitasi penggunaan lingkungan yaitu system kapitalisme. Eko-sosialisme percaya bahwa apapun kedok tujuannya, -- baik kemakmuran, pertumbuhan ekonomi, dll—kegiatan ekonmi yang didasarkan pada ekspansi pasar dan pencarian keuntungan akan selalu berujung pada eksploitasi baik terhadap pekerja maupun lingkungan khususnya di negara-negara Selatan yang menjadi korban keserakahan kapitalis negara-negara Maju melalui agenda ekonomi neo-liberalnya.
Sebagai solusinya, teori eko-sosialisme menawarkan adanya desentralisasi yang mengharuskan industry kopi Nikaragua keluar dari jeratan liberalisasi ekonomi global dan menghapuskan konsep kepemilikan pribadi atas tanah untuk mendirikan jaringan komunitas petani local yang secara kolektif mengolah pertanian kopi dan memiliki kapasitas untuk menentukan mode produksi yang manusiawi dan ramah lingkungan bagi dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan semangat bioregionalisme yang juga dicita-citakan teori politik hijau. Dalam metode produksinya, aktivitas produksi pertanian juga tidak boleh dijalankan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan kopi manusia namun juga menyadari bahwa tanah, hewan, dan alam yang digunakan untuk menopang proses produksi tersebut memiliki hak untuk dilindungi kelestariannya. Hal ini sejalan dengan semangat ekosentrisme (anti antroposentrisme) Teori Politik Hijau yang ada pada ekososialisme. Selain itu ekososialisme juga mengharuskan adanya pembatasan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan karena tidak peduli se ‘hijau’ apapun model ekonomi yang digunakan, apabila moda produksi dan system kapitalisme masih diterapkan, upaya-upaya untuk menumbuhkan perekonomian suatu negara akan selalu berbenturan dengan agenda penyelamatan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Bookchin, Murray. Toward an ecological society. Montréal: Black Rose, 1982.
Burchill, Scott. Theories of international relations. Houndmills, Basingstoke, Hampshire: Palgrave Macmillan, 2009.
Dobson, Andrew. Green political thought. London: Routledge, 1990.
Eckersley, Robyn. The green state: rethinking democracy and sovereignty. London, England: The MIT Press, 2004.
Gresser, Charis, and Sophia Tickell. Mugged: poverty in your coffee cup. Oxford: Oxfam, 2004.
Haas, Peter M., Robert O. Keohane, and Marc A. Levy. Institutions for the earth: sources of effective international environmental protection. Cambridge, MA: Massachusetts Institute of Technology, 1993.
Sale, Kirkpatrick, and K. Sale. Human scale. London: Secker & Warburg, 1980.
Meadows, D., and J. Randers. Beyond the Limits. London, 1992.
Schumacher, E. F., and Bill McKibben. Small is beautiful: economics as if people mattered. New York, NY: Harper Perennial, 2014.

JURNAL DAN LAIN- LAIN
George Blacksell for Ecologist, part of the Guardian Environment Network. "How green is your coffee?" The Guardian. October 04, 2011. Accessed December 17, 2017. https://www.theguardian.com/environment/2011/oct/04/green-coffee.
Löwy, Michael. "What is ecosocialism?" Capitalism Nature Socialism 16, no. 2 (2005): 15-24. doi:10.1080/10455750500108237.
Report. International Cluster Competitiveness Project . Harvard Business School. 2006. Diakses pada 17 Desember : http://data.isc.hbs.edu/iccp/index.jsp
Report. The Nicaraguan Coffee Cluster Microeconomics of Competitiveness Spring. 2006.
Report, Plan Nacional de Desarrollo. 2002.





[1] Gresser, Charis and Sophia Tickell. 2002. ‘Mugged: Poverty in your Coffee Cup’. Oxfam International Campaign Report. Oxford: Oxfam GB.
[2] Bendaina R, and  Allgood B. 2001. 'Nicaraguan coffee: the sustainable crop', El Observador Economico, 116:29-32
[3] Bacon, Chris. 2002.  'The Story of Nicaragua's Coffee Quality Improvement Project: An Independent Evaluation for Thanksgiving Coffee Company'. Santa Cruz, California: Department of Environmental Studies, University of California.
[4] Robyn Eckersley, The green state: rethinking democracy and sovereignty (London, England: The MIT Press, 2004).
[5] Andrew Dobson, Green political thought (London: Routledge, 1990).
[6] Peter M. Haas, Robert O. Keohane, and Marc A. Levy, Institutions for the earth: sources of effective international environmental protection (Cambridge, MA: Massachusetts Institute of Technology, 1993).
[7] Scott Burchill, Theories of international relations (Houndmills, Basingstoke, Hampshire: Palgrave Macmillan, 2009).
[8] UNEP : United Nations Environment Programs
[9] Eckersley 1992.
[10] Ibid., 49
[11] Ibid., 53
[12] Dobson 1990.
[13] Burchill 2009.
[14] D. Meadows and J. Randers, Beyond the Limits (London, 1992).
[15] Ibid.
[16] Dobson 1990.
[17] E. F. Schumacher and Bill McKibben, Small is beautiful: economics as if people mattered (New York, NY: Harper Perennial, 2014).
[18] Kirkpatrick Sale and K. Sale, Human scale (London: Secker & Warburg, 1980).
[19] Ibid.
[20] Murray Bookchin, Toward an ecological society (Montréal: Black Rose, 1982)
[21] Michael Löwy, "What is ecosocialism?" Capitalism Nature Socialism 16, no. 2 (2005): , doi:10.1080/10455750500108237
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.,  18
[26] Ibid., 19
[27] Charis Gresser and Sophia Tickell, Mugged: poverty in your coffee cup (Oxford: Oxfam, 2004).
[28] Brown Oliver, Celine Charveriat, dan Dominic Eagleton,  “The Coffee Market-A Background Study”. International Commodity Research , (2001). www.maketradefair.org/assets/english/  BackgroundStudyCoffeeMarket.pdf:,  diakses pada 17 Desember 2017
[29] R. Bendaina and  B. Allgood , ”Nicaraguan coffee: the sustainable crop”, El Observador Economico, 116:29-32, (2001)
[30] Chris Bacon,  “The Story of Nicaragua's Coffee Quality Improvement Project: An Independent Evaluation for Thanksgiving Coffee Compan”'. Santa Cruz, California: Department of Environmental Studies, University of California, (2002).
[31] George Blacksell for Ecologist, part of the Guardian Environment Network, "How green is your coffee?" The Guardian, October 04, 2011, , accessed December 17, 2017, https://www.theguardian.com/environment/2011/oct/04/green-coffee.
[32] Report, The Nicaraguan Coffee Cluster Microeconomics of Competitiveness Spring (2006).
[33] Ibid.,
[34] Report, Plan Nacional de Desarrollo (2002).
[35] Report, International Cluster Competitiveness Project , Harvard Business School, (2006). Diakses pada 17 Desember : http://data.isc.hbs.edu/iccp/index.jsp
[36] George Blacksell, 2017.
[37] Ibid.,
[38] International Cluster Competitiveness Project 2006
[39] Ibid.,
[40] Ibid.,

**image belongs to its owner

Comments

Popular posts from this blog

A Marxist Analysis : Bitcoin as Capitalism’s Latest Fetish of Commodity

Perempuan dan Dialog Antar-Agama: Pengalaman Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Critical Review: Karl Marx's Economic and Philosophical Manuscript of 1844