Ulasan Kritis : Political Islam in the Middle East oleh Are Knudsen

Oleh             : Raditya Putranti Darningtyas
Mata Kuliah : Gerakan Politik Timur Tengah



            Are Knudsen dalam tulisannya yang berjudul Political Islam in the Middle East berupaya memberi gambaran umum mengenai latar belakang munculnya gerakan politik Islam di Timur Tengah, perkembangan debat seputar isu-isu spesifik dalam dinamika kiprah gerakan politik Islam, dan pemaparan beberapa konsep dominan dalam gerakan politik Islam seperti jihad dan kompatibilitas konsep politik Islam dan demokrasi Barat.  Knudsen memaparkan tiga ciri gerakan Islam yaitu; (a) ketika sekelompok orang mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari gerakan Islam; (b) mereka mencita-citakan berdirinya negara Islam yang berjalan sesuai dengan syariah; (c) mereka mengorganisir diri mereka untuk melaksanakan berbagai usaha dalam rangka mencapai cita-cita diatas. Ciri-ciri ini kemudian di kelompokkan oleh Sami Zubada menjadi tiga jenis tipologi gerakan politik Islam yaitu; (a) Islam Konservatif yang mennginginkan Islam menjadi kontrol moral dan social masyarakat  seperti yang terjadi di negara-negara teluk; (b) Islam Radikal yang sangat dipengaruhi pemikiran Sayyid Qutb dimana mereka ingin menggulingkan pemerintahan yang dianggap tidak adil dan menyalahi ajaran Islam; (c) Islam reformist yang menginginkan adanya reformasi dalam tatanan masyarakat dan terwujudnya agenda nasionalis dan kiri.
            Keragaman gerakan Islam seperti yang telah dipaparkan diatas seringkali gagal dipahami oleh kebanyakan ilmuwan Barat yang cenderung terjebak dalam parameter diskursus teori sosial Barat yang seringkali memarginalisasi nilai-nilai yang tidak sesuai dengan koridor ilmu sosial Barat. Contohnya adalah kecenderungan ilmuwan Barat untuk menyematkan kata ‘fundamentalis’ kepada rezim apapun yang menginginkan penerapan syariah yang berdampak pada munculnya generalisasi bahwa semua gerakan Islam bersifat radikal dan merupakan ancaman terhadap sistem politik Barat. Seolah-olah seluruh gerakan politik Islam secara inheren bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi Barat. Hal ini kemudian termanifestasi dalam bentuk tumbuhnya sentiment anti Muslim di Barat. Saya menilai hal ini kemudian diperparah dengan pemberitaan media Barat yang cenderung bias dan tidak komprehensif dalam menyajikan keragaman jenis gerakan politik Islam beserta kompleksitas tujuan masing-masing gerakan. Contoh konkrit dalam menggambarkan hal tersebut adalah maraknya penggunaan istilah jihad oleh media barat untuk menamai metode kekerasan yang dijalankan beberapa kelompok gerakan Islam dalam mencapai tujuan politiknya. Penggunaan ini cenderung bersifat oversimplifikasi yang mereduksi makna jihad menjadi tindakan terorisme semata. Hal ini disebabkan adanya penggeseran makna jihad oleh pemikir Islam Sayyid Qutb yang mengartikan jihad bukan lagi sebagai tindakan perang defensif melawan penjajah asing melainkan perjuangan internal umat Muslim untuk menjatuhkan pemerintahan yang dinilai tidak sesuai dengan nilai ke-Islaman.
            Keengganan ilmuwan dan juga media Barat dalam mengali lebih dalam mengenai pemaknaan jihad oleh berbagai gerakan politik Islam menjadi problematis karena menciptakan stereotip gerakan Islam sebagai gerakan terorisme. Padahal untuk memberi pandangan yang utuh tentang perkembangan sejarah makna jihad, penting pula untuk mengutip beberapa pendapat tokoh reformis Islam seperti Gamaludin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang keduanya secara tegas menolak jihad dengan arti membunuh atau jihad yang diekspresikan dengan menebar terror kekerasan. Pada abad ke 19 ideologi jihad memainkan peran penting ketika umat Islam berjuang membendung imperialisme Eropa. Gerakan pembebasan di negara Islam seperti Amir Abdul Qadir di Aljazaer dan Ahmad Arabi di Mesir menjadikan jihad sebagai simbol akidah perlawanan dan berusaha kembali dikobarkan di era modern. Al Afghani membedakan antara perang di masa Nabi Muhammad dan perang yang dijalankan mujahid melawan imperialism Barat sekarang.[1] Perang di masa Nabi hanya dilakukan dalam keadaan sangat terpaksa. Melalui prinsip dakwah Islam, Muhammad telah menyebarkan ajaran Islam dengan metode nir kekerasan namun respon masyarakat Quraysh Mekah menjadi brutal hingga sampai pada tahap menyiksa dan membunuh pengikut Muhammad, barulah kemudian Islam membolehkan pengikutnya untuk melakukan perlawanan defensif.
            Sejak Sayyid Qutb bersama Ikhwanul Muslimin dan Jihad Islam mempermak ideologi jihad menjadi bernuansa hitam-putih, hal ini membuka kesempatan bagi para mujahid untuk mengabdikan dirinya pada tujuan berjihad. Namun fase ini tidak terjadi di ruang hampa. Asosiasi jihad dengan pengertian berperang terjadi bersamaan dengan agenda perlawanan besar-besaran umat Islam melawan penjajah. Strategi perlawanan jihad menghadapi penjajahan oleh tentara Soviet di Afghanistan kemudian diteruskan untuk siapa saja yang dianggap musuh seperti ancaman memerangi warga Amerika Serikat karena telah mendukung berdirinya negara Yahudi Israel yang dinilai tidak sah diatas tanah Palestina. Studi kasus diatas merupakan gabungan ilustrasi berbagai teori yang berusaha menjelaskan mengapa terorisme dalam gerakan politik Islam bisa terjadi sebagaimana yang Knudsen paparkan di dalam bab 3 mengenai kekerasan politik. Knudsen mengelompokan tiga jenis teori yang berusaha menjelaskan munculnya terorisme yaitu; (a) penjelasan psikologis yang sifatnya patologis seperti deprivation; (b) penjelasan social seperti pengaturan ekonomi yang menyebabkan perampasan kesejahteraan; dan (c) penjelasan negara seperti adanya sponsorship, hegemoni , dan failed state. Ketiga basis penjelasan tersebut kemudian saling mengaitkan diri dalam memunculkan terorisme dalam gerakan politik Islam sebagaimana diilustrasikan diatas.
            Ilustrasi diatas juga sesuai dengan teori krisis dan teori resurgensi yang dipaparkan Knudsen dalam bab 4 yang membahas berbagai aliran teori untuk menjawab pertanyaan apa yang menyebabkan munculnya kembali gerakan politik Islam di era modern. Teori krisis mengatakan bahwa gerakan politik Islam muncul sebagai bentuk respon terhadap berbagai bentuk krisis ekonomi, politik, dan kultural yang dialami masyarakat Muslim akibat dari adanya ketidakstabilan yang disebabkan penjajahan atau perang secara umum. Teori resurgensi kemudiam meminjam aspek teori krisis dan menambahkan aspek teori kultur negara yang merumuskan bahwa gerakan politik Islam muncul sebagai reaksi atas kegagalan negara-negara Timur Tengah dalam menjalani modernisasi. Kekalahan bangsa Arab pasca perang melawan Israel secara signifikan meredupkan semangat pan Arabisme yang menyebabkan krisis identitas bangsa Arab yang sebelumnya berorientasi pada nilai-nilai sekuler Barat untuk kemudian beralih pada nilai-nilai ke Islaman sebagai identitas alternatif.

           
  **Credit of picture belongs to its owner          
           






[1] Wahyuddin. Imam., “Jihad Bukan Terror: Memutus Relasi Jihad dengan Terorisme”, Materi Kuliah Agama Islam, Fakultas Filsafat UGM

Comments

Popular posts from this blog

A Marxist Analysis : Bitcoin as Capitalism’s Latest Fetish of Commodity

Perempuan dan Dialog Antar-Agama: Pengalaman Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Meneguhkan Lagi Peran Akal, Kebebasan dan Toleransi: Memperimbangkan Tawaran Mustafa Akyol