Ambar
Minggu,
14 Desember 2014
“Why aren’t u eating?”
Suara
lelaki itu lirih, diseraki ribuan pilu yang menghunus tajam. Rasa khawatir
melingkar jelas, melinting rasa bersalah yang mungkin sudah sedari tadi
menggerogotinya dari dalam. Sebelah sudut bibirku tertarik sinis. Jika
saja mulut ini masih bisa meludah, akan
kumuncratkan apapun yang bisa ku keluarkan dari perut kosongku, akan ku ekstrak
tetesan apapun yang mungkin tersisa dari rongga mulutku. Melihatnya melompat
cepat menodai wajah bersihnya. Wajahnya yang putih. Bening. Suci. Aku
mendengus. Ironis. Jika iblis mencuci wajahnya setiap pagi, wajahnyalah yang
kemiripannya paling mendekati.
Wajah
itu mulai mendekat. Mataku memicing tajam. Kukerahkan segala daya untuk
mengumpulkan air ludah yang sedari tadi tak sabar ingin kumuncratkan. Entah
dari mana asalnya. Kugigit bagian dalam pipiku keras-keras. Tetesan darah dan
ludah berbaur resah. Aroma besi dan karat yang familiar menyapa lidahku. Satu-satunya
benteng pertahanan yang kupunya. Satu-satunya senjata yang bisa kugunakan.
“Sweetheart, you know I care about you, right?”
Bibir itu hanya 5 senti dari wajahku. Aku bisa merasakan hembusan napas itu. Aroma
bir samar tercium. Aku tetap diam. Tangannya menyapu halus kulit lenganku. Aku
masih mengenakan gaun tidur putih tanpa lengan pemberiaannya. Jemarinya
berhenti pada salah satu simpul tali yang mengikat kedua pergelangan tanganku
ke sisi tempat tidur. Sejenak wajah itu tampak ragu. Pergolakan batin terukir
jelas di dahinya yang berkerut-kerut. Tanda ia sedang berpikir keras. Sebersit
rasa iba menghampiriku. Tidak. Iblis ini tidak pantas dikasihani. Itu yang ibu
bilang. Ibuku yang malang. Menghabiskan hidupnya bertahun-tahun dengan seekor
iblis dan mendapati hidupnya berakhir di tangan iblis yang sama. Aku harap
Tuhan cukup punya hati nurani untuk tidak menempatkannya di neraka. Sudah cukup
ibuku bergaul dengan iblis-iblis di dunia. Aku berani bertaruh beliau sudah
bosan.
“If you hate me feeding you that much, will
you eat by yourself?” Kedua lengan besarnya mengurung tubuhku. Jemarinya
masih bermain-main dengan simpul tali. “Come on, pumpkin pie..”
That’s it!
Cairan dari mulutku melontar cepat. Mendarat tepat di pipi kanannya. Sorot mata
itu berubah drastis. Wajah itu merah padam. Rasa bersalah, khawatir, sayang,
atau entah apa itu lenyap sudah, digantikan amarah yang jujur saja terasa lebih
familiar. Seranganku melunturkan topeng itu, memaksa si iblis untuk menunjukkan
warna aslinya. Aku tidak takut. Tidak sedikitpun. Jika ia marah maka akupun
murka. Tidak ada yang boleh memanggilku dengan sebutan itu selain ibuku.
“You ungrateful little bitch!” Ia
berteriak tepat di wajahku. Kupaksa mata ini untuk terus melotot. Lengan
besarnya menghapus ludahku dari pipinya. Aku bersorak dalam hati. Mom, did you see that? Aren’t you proud of
me?
“I was gonna untie your dirty little
hands, but I guess I just have to strap you to death, then..” Dia
mengeratkan keempat ikatan di kedua tangan dan kakiku hingga tak ada ruang
gerak sedikitpun yang tersisa. Aku tetap diam. Sekuat tenaga kutahan isak yang
memenuhi dadaku. Kugigit bibirku keras-keras agar tidak bergetar. Mataku panas.
Dengan paksa kutelan rasa panik yang perlahan merangkak naik ke kerongkongan.
Perutku mulai melumat dirinya sendiri. Aku ingin muntah. Namun kuangkat daguku
tinggi-tinggi, berusaha memasukkan kembali aliran hangat yang terancam keluar
dari sudut mataku.
“There, you have it!” Ibu
jarinya meraih daguku, mensejajarkan tatapan mata kami. Aku bisa melihat bayangan
diriku di mata birunya yang bengis. Aku harap mata hitamku tak kalah sadis. “Don’t you dare crying in front of me! You
know deep down, that you deserve it!” Sejenak aku mengira ia akan
menamparku, tapi tangan itu berhenti di udara. Ia menghembuskan napas panjang dan
berbalik cepat. Langkah sepatunya keras, menggema seisi ruangan. Aku memejamkan
mataku kuat-kuat. Menyerah untuk kesekian kalinya pada air mata yang mendobrak
keluar. Pada ketidak berdayaan. Pada hidup. Pada dunia yang menampungnya. Tapi aku
bersumpah, Tuhan, Buddha, Dewa, atau apalah namanya, bahwa ini yang terakhir
kalinya.
***
Senin, 16 Desember 2030 / Selasa, 16
Desember 2014
Gadis
itu terbaring lemas, kedua tangan dan kakinya terikat di kedua sisi tempat
tidurnya yang sempit. Semacam sabuk berwarna hitam melingkari perut dan
dadanya, memaksanya untuk berdiam dalam satu posisi.
Sudah lama dia berhenti berusaha
membebaskan dirinya dari ikatan tali-tali yang memerangkap tubuh kurus itu.
Pikirannya terjaga, namun ia tetap memejamkan mata. Jika dia membuka mata,
hanya gelap yang akan memenuhi pandangannya; satu-satunya sumber penerangan di
ruangan itu hanyalah segaris cahaya yang berhasil menembus masuk dari atas
pintu. Dia bisa merasakan asam dan pahit di dalam mulutnya, dia rindu menggosok
gigi.
Dia mendengarkan derap langkah kaki
dari luar ruangan, yang artinya ia
datang. Suara engsel pintu yang bergeser nyaring membuatnya membuka mata. Namun
kamar itu masih gelap. Pintu kamarnya masih tertutup rapat. Lima detik berlalu,
dia tidak yakin apa yang barusan itu nyata atau hanya imajinasi otaknya yang
mulai gila. Dia terbangun dan baru saja tidur atau dia tertidur dan baru saja
bangun? Dia tidak tahu seberapa larut malam telah datang. Dia menandai satu
hari lagi telah dia lewati. Yang artinya sudah hampir 3 hari ia terikat dan
dipenjara di kamar tidurnya sendiri.
Dia tidak takut. Rasa takutnya
hampir habis menguap, menyisakan amarah yang tidak kunjung habis terbakar.
Hidungnya
gatal. Tangan kurus itu terangkat, ia merasakan telunjuknya menggaruk hidung. Keringat
membanjiri wajah dan punggungnya. Malam ini ruangan itu terasa panas dan
pengap. Di saat yang sama, resah menyesaki pikirannya. Dia benci
ketidakberdayaannya. Dia benci ketidakpastian nasib yang akan menghampirinya.
Tak peduli telah jutaan kali dia berusaha berkonsentrasi pada satu hal-- apapun-- untuk membantunya melupakan nasib
buruknya sejenak, rasa takut itu tetap merembes keluar dari tubuhnya.
Menggelantungi udara. Membuatnya sesak. Saat-saat seperti ini yang telah
membantunya menemukan cara paling efektif mengenyahkan rasa takut dari dirinya.
Yaitu dengan berkhayal. Menghadirkan fantasi yang dapat memberinya kekuatan.
Gadis itu memejamkan mata, berusaha menghadirkan aroma bensin dalam pikirannya.
Pria paruh baya itu duduk di dalam
mobil. Jendelanya terbuka. Seorang perempuan bermantel hitam berlari ke arah
mobil, menumpahkan isi jerigen ke dalam jendela, dan menyalakan pemantik api
merah berukir naga. Seketika api menyambar ke udara. Pria itu berteriak
histeris. Raungan suaranya menyayat siapa saja yang punya telinga. Rasa sakit
yang dahsyat terpampang jelas di wajahnya. Tubuhnya menggeliat hebat. Tangannya
meronta-ronta disaat api tengah lahap melalapnya. Perempuan itu bisa mencium
bau daging hangus dan bau tajam plastik dan bau kain terbakar berubah menjadi
serbuk karbon dari atas seat mobil. Salah satu ujung bibir perempuan itu
tertarik sinis.
***
Kamis, 12 Desember 2030
Seperti biasa, kafe itu tampak ramai.
Aroma kopi bercampur kayu manis menggelantung di udara. Deretan toples berisi
rempah-rempah menghiasi bar tinggi dimana dua sampai tiga orang barista biasa
meracik kopi dan minuman lainnya. Para pelayan ber celemek putih seliweran
mengantar pesanan. Disudut ruangan, seorang wanita dan pria tengah mengobrol.
“Kita langsung ke pertanyaan pertama
aja ya, mba?” Si pria, seorang jurnalis muda bernama Reza, berkata sambil
menghidupkan perekam suara di atas meja. Sebuah pensil dan notebook tebal siap di kedua tangannya. Walau masih dua puluh lima,
ini bukan pertama kalinya Reza mewancarai penulis terkenal. Walau terkesan slenge’an— etos kerja, bakat, disertai
insting alaminya telah mengantarkan majalah sastra Alinea menjadi salah satu critics
karya sastra yang di hormati dan disegani di dunia sastra Indonesia.
Tak
heran kalau tugas mewawancari penulis terkenal yang satu ini diserahkan
padanya. Penulis satu ini hampir tidak pernah menerima tawaran interview untuk
majalah apapun. Jangankan untuk acara televisi, permintaan untuk hadir dalam
bedah buku sendiri saja tidak pernah datang. Baik di dalam maupun luar negeri,
kemisteriusan penulis internasional yang satu ini santer terdengar. Baru sekitar
lima bulan menginjakkan kaki di Indonesia, penulis ini sudah menerbitkan novel
baru. Dalam bahasa Indonesia lagi. Dan anehnya —juga untungnya— hanya majalah
tempat Reza bekerja yang mendapat kesempatan istimewa mewawancari langsung si
penulis. Majalah Alinea tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan emas semacam ini dirusak seorang jurnalis amatir tak
berpengalaman.
“Terserah. Mau pertanyaan pertama
apa yang kedua duluan juga I couldn’t
care less..” Wanita cantik berkacamata itu menguap lebar. Bosan tampak
mulai merayapi wajah blasteran Indo-Amerika nya. Bibir pouty lips ala Lana Del Rey itu mengerucut kesal. Reza mendengus
dalam hati. Bukan pertama kalinya, ia bertemu penulis menyebalkan walaupun ia
akui ini pertama kalinya ia mewawancari penulis yang menurutnya lebih pantas
jadi aktris sinetron. Dengan mini dress hitam
ketat tanpa lengan dan rambut ikal tatanan salon, Reza tak habis pikir
bagaimana bisa belasan karya fiksi angsty
dan psychological thriller yang
sedang di gandrungi masyarakat saat ini lahir dari kepala wanita berambut indah
ini. Ambar Kuhn di dunia nyata tidak se psycho
apalagi sekumal yang masyarakat bayangkan. Jauh dari image gila ala Edgar Allan Poe. Jauh dari itu. Si jenius Ambar
Kuhn, ratunya fiksi gelap dan berdarah yang mereka idolakan lebih mirip tokoh
utama wanita dalam cerita stensilan.
“Sebenarnya, kamu kesini mau
wawancara apa pelototin paha saya?” Ambar berkata tajam. Dia benci ada disini.
Kalau saja pimpinan redaksi Alinea
bukan Maharani Zulfa. Kalau saja Ambar tidak menaruh hati pada Zulfa. Jika saja
Ambar tidak tergiur imbalan date menonton
sendratari Ramayana di Magelang bersamanya. Wanita empat puluhan yang sudah dua
tahun ini menjadi sahabat, bahkan ibu bagi Ambar sejak pertama bertemu dalam
acara reuni universitas di New York.
“Maaf mba, tolong jangan salah
paham. Saya tadi sedang memilih-milih pertanyaan.” Reza berdeham pelan dan
mengutuk diri dalam hati. “Pertanyaan pertama, basic sih, dari mana mba mendapatkan inspirasi buat menulis
cerita-cerita yang sudah di publish?”
Ambar memutar bola matanya. Cliché!
“Is it every journalist’s favorite mode of
questioning or something? Gak ada pertanyaan yang lebih otentik? Kalau kamu
mau tahu jawaban pertanyaan tadi buka aja page
Wikipedia saya!” Ambar menguap lebar entah untuk keberapa kalinya. Mata
Reza menyipit, pensilnya menggores kata- kata ‘rude & tipikal sastrawan moody’
di bawah kolom personality.
“Oke
kalau gitu saya minta maaf. Pertanyaan selanjutnya, Mba Ambar kan sudah jadi
penulis terkenal di Amerika malah sejak kuliah tinggal di sana. Walaupun dulu
pas kecil pernah di Indonesia, apa ada alasan lain kenapa balik kesini dan
malah mulai nulis dalam bahasa Indonesia?” Rasa kesal mulai menghilang dari
wajah Ambar. Air mukanya kembali netral. Sejenak Ambar mengernyitkan dahi
sambil menggigiti bibir bawahnya. Gesture ringan yang tak luput dari tatapan
Reza.
“Kamu percaya legenda Adam dan
Hawa?” Ambar bertanya tiba-tiba. Reza mengernyitkan dahi, berpikir kemana
kira-kira Ambar ingin mengarahkan pembicaraan mereka.
“Well,
saya lahir dan besar di keluarga Muslim. So,
I guess I am supposed to believe in it?” Reza menjawab sekenanya. Ia tidak
ingin posisi interviewer dan
interviewee malah jadi tertukar. Reza tidak boleh buang-buang waktu.
“How
do you feel about them being kicked out of Heaven?” Ambar bertanya lagi.
“Apa harus saya jawab?” Reza
balik bertanya.
“Of course!” Ambar menjawab mantap.
“This interview is not about me, though. Its
about you..” Reza berusaha mengelak.
“But, this conversation is about us!”
Ambar menaikan sebelah alisnya. Menunggu. Dasar kepala batu! Reza mengumpat
dalam hati.
“Okay.
Saya pribadi sih, agak kesal sama Adam. Dia sudah menghilangkan tiket emas saya
untuk langsung tinggal di surga sebagai bagian dari keturunannya tanpa harus bersusah-susah
di dunia. But, years gone by and I kinda get the point you know? I am
kinda glad they were thrown into the world. Because the world isn’t that bad,
it actually gives us lots of things heaven alone wouldn’t be able to provide..”
“Exactly, my point! Kita manusia, at least mereka yang percaya legenda
itu, harus bersyukur Hawa makan apel dan Adam ikutan tergoda makan.” Tutur
Ambar semangat. “Saya tidak pernah marah sama Hawa and I don’t think she’s done something’s wrong. Apel itu membuka
jalan pikiran mereka berdua dan pikiran itu jugalah yang akhirnya mengantar
mereka kembali ke Eden. Walau beberapa orang tolol mungkin akan berpikir ‘buat
apa repot-repot dibuang kalau toh dikembalikan lagi?’ “
“So there can be a journey?” Reza menyela
dan untuk pertama kalinya Ambar tersenyum. Ternyata Reza tidak sebodoh yang dia
kira.
“Yeah,
the only way to find out where you belong
is to get out of where you are, then come back. Kamu pikir Adam dan Hawa
akan tahu bahwa mereka istimewa kalau tidak dibuang dulu ke dunia? Bet my ten bucks that they wouldn’t!”
Ambar tersenyum. Senyum kali ini tidak menyentuh kedua matanya.
Reza
ikutan tersenyum. Ambar memang dingin dan kasar. Tapi sebuah wisdom tidak harus selalu keluar dari
mulut orang yang hangat dan sopan
“Jadi,
menurut Mba Ambar, Indonesia itu surga begitu? Dan Mba dibuang dulu ke New York
untuk akhirnya kembali kesini?” Reza setengah bercanda.
“Entahlah
Reza. Saya tidak marah sama Hawa bukan berarti saya tidak geregetan sama mereka
berdua. Adam dan Hawa kembali ke surga dan mereka diam saja, membiarkan Iblis
itu menggoda anak cucunya sampai kiamat. Kalau saya Hawa, sekembalinya dari
dunia, I am gonna beat the shit outta him
dan saya akan pastikan kalau Iblis itu terpanggang dalam kobaran api neraka
yang saya nyalakan sendiri. Saya akan pastikan ia lenyap selama-lamanya. Baru
saya bisa duduk tenang di dalam surga. Kalau Tuhan marah lagi dan kembali
membuang saya ke bumi, saya tidak peduli. Toh saya sudah pernah survived hidup di dunia sebelumnya.”
Ambar menatap lurus mata Reza.
***
Kamis. 20 Juni 2030
I read your novels. Happy Birthday, Pumpkin Pie…
Love,
Daddy
Ambar
memandang ngeri kearah kartu ucapan yang tergeletak di hadapannya. Tangannya
meraih pemantik api dari dalam bungkusan paket. Benda itu berwarna merah
menyala. Ibu jarinya menyusuri ukiran naga yang melingkari badan pemantik. Dia
menggigit bibirnya keras-keras. Otaknya membeku. Jalan pikirannya buntu.
Keringat dingin mengucur deras. Tangannya mulai basah. Bagaimana bisa paket ini
sampai di apartemennya? Bagaimana bisa iblis itu tahu dimana dia tinggal?
Kenapa pula iblis itu masih hidup? Terakhir dia cek bertahun-tahun yang lalu, Iblis
itu masih terkurung dalam sangkar jahanamnya di Indonesia. Memangnya narapidana
di Indonesia bisa mengirim paket? Memangnya iblis itu punya cukup uang mengirim
paket ke alamatnya di New York? Yang lebih penting, MENGAPA iblis itu
mengiriminya paket? Apa yang sebenarnya ia inginkan? Meminta maaf? Huh, he knows me too well to apologize!
Memori
itu mulai membanjiri otaknya. Masa kecilnya yang suram. Insiden pembunuhan ibu
yang sangat ia cintai oleh ayah kandungnya sendiri. Cipratan darah di lantai
ruang makan. Amukan ayahnya yang menggema rumah tempat Ambar tumbuh dan
menghabiskan bulan kematian ibunya terikat dan terkurung di kamar tidurnya
sendiri. Bahkan bertahun-tahun sebelum insiden itu, Ambar selalu mendapati
ibunya tergeletak pingsan di lantai dapur. Lengan putih itu hitam lebam. Tak
jarang darah mengalir dari luka di pelipis yang belum sempat kering. Ambar
selalu mendapati Iblis yang sama melayangkan tamparan di atas memar pipi
ibunya. Pertanyaan demi pertanyaan yang menyerbu pikirannya lebur oleh potongan
gambar. Ambar memejamkan mata. Berusaha mengenyahkan potongan gambar yang mulai
bersuara. Kilatan tajam sepasang mata biru muda. Ambar meraih smartphone dari atas meja dan mem booking tiket penerbangan pertama ke
Indonesia untuk keesokan harinya.
***
Subject : Goodbye.
12/16/2030. Hi Reza, I guess Eve prefers the world
over Eden after all. I’ve finished with my job here. I’ve carried out the
revenge on my Demon. See you someday. Just let me know, if by chance, you are
in New York.
***
Mayat Pria Ditemukan Hangus Terbakar di Dalam Mobil
Tersangka
diduga Kerabat Dekat Korban
Warga Perumahan Sudirman, Jakarta Pusat,
dikejutkan dengan penemuan sesosok mayat pria yang hangus terbakar di dalam
sebuah mobil mewah Lamborghini hitam tanpa nomor polisi di sebuah lapangan
sepak bola pada hari Sabtu (14/12/2030) pukul 4 dini hari.
Mayat pria tak beridentitas ini diduga telah sengaja
dibunuh oleh pelaku dengan mengikat kedua lengan dan kaki korban dengan tali
tambang ke jok mobil untuk kemudian dibakar hidup-hidup beserta seluruh isi
mobil. Penyidik dibantu tim dokter forensic RSUD Jakarta Pusat, mengambil
sampel kulit yang masih terselamatkan untuk melacak pelaku.
Mayat yang belum diketahui identitasnya itu
mengenakan tuksedo hitam dan dan dasi layaknya orang yang hendak pergi ke
pesta. Ditemukan pula puntung rokok yang berserakan dan sebuah pemantik api merah
dengan ukiran naga 5 meter dari lokasi mobil tersebut. Untuk mengetahui
identitas korban sekaligus mengungkap dugaan pembunuhan, polisi meminta
keterangan warga. Polisi juga menyisir sekitar lokasi untuk memperoleh petunjuk
lebih jauh…….
-selesai-
Comments
Post a Comment